"Diajakin bakar-bakar ikan sama anak-anak kelasannya."
"Jam?"
"Jam berapa aja terserah, tapi gue dateng jam tujuh."
"Di mana tempatnya?"
"Di.... tunggu deh," Maura menoleh cepat. Mengernyitkan dahinya ke arah Dewa. "Kok lo jadi introgasi gue gini?"
"Kan cuma nanya."
"Tapi terus-terusan nanyanya."
"Ya udah berarti gue boleh nemenin kan ntar malem?"
"Lho?" Maura makin mengerutkan keningnya. "Kok malah jadi ngintilin gini?"
"Gue kan jomblo, nggak ada yang bisa diapelin malem minggunya."
"Kan katanya banyak yang ngantri, samperin aja ke rumahnya. Tinggal pilih."
Dewa memanyunkan bibirnya. Menoleh pada Maura saat lampu merah. Memasang ekspresi imut dan menggemaskan. Membuat Maura tak tahan untuk mencubit pipinya.
"Gue sendiri aja. Nggak apa-apa, kan udah biasa juga main sama yang lain. Okey?" kata Maura, dengan senyuman manisnya.
Dewa pun akhirnya hanya bisa menghela napas. "Ya udah, hati-hati ya."
Maura mengangguk dengan dua jempol yang diacungkan ke depan Dewa. "Oke, boss-qu!"
Di bangku belakang, Nando melihat Dewa dan Maura sambil tertawa seperti biasa. Lalu tiba-tiba ia teringat kembali dengan Mia. Sakit hatinya pun kembali muncul. Membuat Nando jadi malas untuk pulang ke rumah.
"Dewa, gue main ke rumah lo, ya?"
Sekitar seratus meter sebelum mobil sampai di gang rumah Nando, Nando mengeluarkan pertanyaan itu. Yang refleks membuat Maura menoleh ke belakang dengan wajah kaget. Dewa hanya melirik dari kaca spion tengah.
"Kenapa, Nan?" tanya Maura.
Dewa lalu meminggirkan mobilnya dan ikut menoleh ke belakang. Tangannya yang kanan masih bersandar pada stir mobil.
"Ke rumah gue?! Ngapain?" Giliran Dewa yang bertanya.
Nando menjawab sambil tersenyum. "Nemenin lo malem mingguan. Katanya jomblo?"
"Ya jomblo tapi nggak berarti gue homo!"
Nando terkekeh. Semenjak hubungan mereka bertiga semakin dekat, Nando memang jadi lebih bisa mengekspresikan dirinya. Ia tak sedingin dulu saat sendirian. Ia kini menunjukkan sisi kedua dirinya yang hanya ia tunjukkan pada orang terdekatnya.
"Gue juga masih normal," balas Nando. "Daripada bosen, kan? Mending gue temenin."
"Makasih deh!" jawab Dewa malas. "Rumah gue lebih ngebosenin!"
"Oh ya udah kalo nggak bisa." Wajah Nando terlihat sedih, tak seperti biasanya. Meskipun ia menutupi dengan senyum. Tapi sebagai seorang laki-laki, Dewa bisa membaca ekspresi itu.
Akhirnya karena tidak tega, Dewa mengeluarkan ponselnya menelepon Bi Warni.
"Halo, Bi... mereka belom ada di rumah, kan?"
Maura melirik Dewa. Cewek itu langsung bisa tau dengan siapa Dewa sedang berbicara, dan siapa itu 'mereka' yang Dewa tanyakan.
"Ya udah, makasih, Bi."
Dewa menutup teleponnya. Lalu mulai menjalankan kembali mobilnya. Melewati gang rumah Nando. "Jangan komentar apapun tentang apapun yang nanti lo liat di rumah gue," katanya ditujukan pada Nando.
Senyuman Nando semakin lebar. Begitu juga dengan Maura.
"Iya," janji Nando.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Memory! [COMPLETED]
Fiksi Remaja[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kelimabelas!
Mulai dari awal
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)