Hello, Memory Kelimabelas!

Start from the beginning
                                        

Nando dan keluarganya hanya harus menerima getah hasil perbuatan Ayahnya.

"Dunia pasti berputar, Mia," balas Nando pelan. Penuh kesakitan.

"Iya, itu dunia lo! Dunia gue datar, bukan bulat!" Mia melepas cengkramannya di kerah Nando lalu menepuk-nepuk tangannya seperti Nando adalah debu yang bisa mengotori tangan mulusnya.

"Jadi inget ya, nggak usah ngarepin gue lagi! Nggak usah mimpi!" tegas Mia sekali lagi sebelum mendorong bahu Nando dan pergi buru-buru dari tempat itu.

Di tempatnya, Nando hanya menatap punggung Mia dengan hati yang semakin lebar lukanya, tapi masih tetap membuatnya tersenyum. Karena ia yakin, Mia yang sesungguhnya bukan Mia yang seperti ini.

Ia tahu itu.

Ia tahu Mia pasti akan kembali seperti Mia-nya yang dulu.

***

Di parkiran, Dewa melihat lagi jam tangannya yang menitnya sudah berlalu lebih dari empat puluh sejak mereka menunggu Nando tadi.

"Lama banget, deh!" komentar Dewa lagi. Entah sudah yang keberapa kali.

"Gue susulin aja deh ke ruang guru," inisiatif Maura.

"Gue aja," simpul Dewa langsung sebelum Maura melangkahkan kakinya. Maura pun hanya mengangkat bahunya dan Dewa mulai berjalan menyusul Nando.

Tapi baru juga sampai di koridor, mereka sudah berpapasan. Dewa berhenti sambil menunggu Nando berjalan mendekat ke arahnya. Tangannya bersidekap tanda kesal menunggu Nando terlalu lama. Sementara dari kejauhan, Nando hanya cuek tanpa dosa.

"Lo curhat dulu ya sama Bu Mirna?" semprot Dewa setelah Nando selangkah di depannya.

"Ngomongin classmeeting dulu tadi," jawab Nando tidak sepenuhnya berbohong.

"Lama!" balas Dewa lalu berjalan bersebelahan dengan Nando menuju parkiran.

Saat mereka tiba di mobil, Maura sudah duduk di dalam mobil sambil berbicara dengan ponselnya.

Nando meloncat masuk ke kursi belakang, berbarengan dengan Dewa. Entah kenapa Dewa malas sekali membuka pintu mobilnya. Ia lebih senang loncat langsung.

Mungkin memang itulah seninya masuk ke mobil convertible seperti ini.

"Nanti malem? Hari ini?"

Maura masih berbicara pada ponselnya saat mesin mobil sudah menyala.

"Tapi gue alergi ikan. Cuma bisa ikut bakar-bakar doang, nggak bisa ikut makannya."

Dewa mulai melirik Maura, penasaran dengan siapa ia berbicara.

"Hmm, ya udah kalo gitu sih. Eh eehhh, nggak usah... nggak usah jemput ke rumah, gue jalan sendiri aja, lo kasih tau aja alamatnya."

Lalu tak lama Maura menutup teleponnya. Meskipun matanya belum terlepas dari ponsel karena sedang membaca pesan masuk yang berisikan alamat tadi.

Sambil menyetir, Dewa melirik Maura lalu bertanya tentang siapa penelepon tadi.

"Tadi siapa, Ra?"

Sambil memainkan ponselnya Maura menjawab, "Itu yang anak basket waktu itu yang ngobrol di lapangan sama gue waktu lo lagi futsal, temen sekelasnya Leo."

"Si Pahri?"

"Fachri, Wa...."

"Kan orang sunda. Pahri."

Maura menggeleng-gelengkan kepalanya. "Iya deh, bebas buat maneh mah."

"Mau ke mana?" tanya Dewa lagi. Jadi persis seperti pacar yang mengintrogasi pacarnya.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now