Hello, Memory Keempatbelas!

Start from the beginning
                                        

"Ahhh... akhirnya selesai juga!" ucap Maura pada dirinya sendiri saat hendak berjalan keluar ruang ujian terakhirnya semester ini.

Rasanya Maura tidak sabar ingin melihat hasil kerja kerasnya selama satu semester ini di mading nanti. Ia penasaran akan berada di ururan keberapa kah namanya nanti.

Di depan ruang ujiannya, Dewa sudah berdiri di tembok dekat pintu, sedang mengobrol dengan teman-teman cowoknya yang lain. Bukan obrolan tentang bagaimana susahnya soal ujian tadi, tapi bagaimana susahnya memenangkan game FIFA saat melawan Thomas, si raja FIFA satu angkatan.

Yah, namanya juga cowok. Kalau ujian hanya datang, kerjakan lalu lupakan.

"Nah, eta Neng Bidadari geus kaluar!" seru seorang cowok berkumis tipis. (*Itu Maura udah keluar).

"Kalian tuh kapan mau jadiannya, sih? Apa jangan-jangan udah jadian, ya?!" oceh teman Dewa yang lain.

"Kita mah sahabatan, Dodi," elak Maura.

"Yahhahaha, jadi cuma dianggep sahabat doang, Wa? Meuni karunya!" (Kasihan sekali).

"Nasib!" sahut Dewa pura-pura sedih. Padahal sedih beneran.

Teman-temannya semakin tertawa. Maura hanya bisa tersenyum canggung.

"Udah ah, cabut duluan." Dewa langsung pamit saat melihat mimik wajah Maura yang terlihat tak nyaman.

"Kita nebeng naik, atuh!"

"Ayo, pada di gerobak ya. Ntar gue tarik pake mobil."

"Kejam!"

Dewa hanya tertawa lalu menarik Maura menuju parkiran, menunggu Nando. Soalnya tadi Nando bilang dia mau ke ruang guru dulu, mengumpulkan data kuisioner yang kemarin diisi oleh teman sekelas untuk diserahkan ke wali kelas.

"Jangan dipikirin omongan mereka mah. Biasanya juga lo cuek kok," ucap Dewa, menyandar pada mobilnya.

Maura ikut menyandar di samping Dewa. Kakinya digesek-gesek ke tanah. Pandangannya jatuh ke sepatu hitamnya.

"Gue cuma kepikiran sesuatu," jawab Maura.

"Tell me."

"Gimana... kalo ternyata dia juga cuma nganggep gue sahabat doang?"

Dewa tak langsung menjawab. Kedua tangannya masuk ke celana. Napasnya ditarik panjang.

"Nggak usah berandai-andai dulu. Buat apa mikirin sesuatu yang belum terjadi," ucap Dewa kemudian.

"Gue cuma tiba-tiba kepikiran aja tadi." Maura mengangkat kepalanya, menatap Dewa. "Trus setelah nanti gue dapet jawaban itu, apa gue tetep bisa akting biasa aja kayak lo, ya? Padahal itu pasti sakit banget kan, Wa?"

"Mana ada sih, Ra, orang yang mau cintanya bertepuk sama angin."

"Berarti pasti sakit." Maura menyimpulkan.

"Makanya kalo lo nggak mau ngerasain sakit juga kayak yang gue rasain, cintanya jangan sama dia, Ra. Sama gue aja, gimana?"

Dewa menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum usil. Menggoda Maura agar gadis itu tak murung lagi.

"Gue bakal kasih pempek Bu Weni kesukaan lo setiap hari, sebanyak lo mau, kalo lo mau cintanya sama gue. Enak kan tuh? Gimana? Mau nggak, Ra?"

Dewa masih menggoda. Membuat Maura tak kuasa menahan tawa. Ia mencubit kedua pipi Dewa sambil tertawa.

Andai aja bisa, gue juga maunya cintanya sama lo aja, Wa.

***

Nando cukup lama berada di ruang guru. Diantaranya sedikit membicarakan tentang classmeeting minggu depan dengan wali kelasnya.

Maka ketika Nando keluar dari ruang guru dan berjalan menuju parkiran, suasana sekolah sudah lumayan sepi. Biasanya di ujian terakhir yang hanya satu mata pelajaran ini para siswa akan langsung pulang dan pergi main bersama teman-teman mereka. Hitung-hitung perayaan kebebasan setelah minggu ujian yang memusingkan.

Ketika langkahnya hendak berbelok ke koridor lain, di sudut koridor dekat tangga tiba-tiba ada yang menarik tasnya dari belakang dan mendorongnya ke ujung tembok. Agar tak ada siapapun yang melihat.

Nando tak mampu membuka mulutnya lagi saat orang itu semakin mendekat ke arahnya.

Dengan seragam yang sama dengannya, ia berbicara sambil menggeram tertahan. Matanya bulat melebar.

"Culun, mau lo apa, sih???!!"

***

tbc

Jenggg jenggggggg!!!!!! Nando kenapa ya? Itu siapa ya? Tunggu kelanjutannya ya xixi

<<< Inesia Pratiwi >>>

(re-published 17/9/17)

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now