Hello, Memory Ketigabelas!

Magsimula sa umpisa
                                        

"Emang kenyataan kok."

"Ya tapi kalo emang dia bener-bener tulus gimana, hayo?"

"Gue tau gerak-geriknya mana yang tulus. Dan sejauh ini yang tulus cuma baru Luna dan lo." Tepat di perempatan jalan saat lampu lalu lintas berwarna merah, Dewa menatap mata Maura.

Sore ini mendung, tapi dua bola mata itu masih tetap bercahaya.

Pemilik bola mata itu hanya bisa berdeham lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tak tahu kenapa ia jadi sering salah tingkah ditatap serius oleh Dewa.

***

Selesai mengantar Nando pulang, Dewa pun mengantar Maura. Kali ini ia tidak masuk ke rumah Maura dan duduk atau tidur berlama-lama di sana, seperti yang biasa ia lakukan.

"Gue cuma drop aja, ya," kata Dewa ketika mobil berhenti di depan rumah Maura.

"Nggak masuk? Makan dulu aja," ajak Maura sambil melepas sabuk pengamannya.

"Next time."

"Lo mau pergi lagi?"

"Belom tau."

"Pulang aja, Wa. Besok masih ada ujian, lho."

"Santai."

"Ya udah jangan malem-malem pulangnya!"

"Hm."

Tiba-tiba Dewa dikagetkan oleh Maura yang mendekatkan tubuh ke arahnya, memiringkan kepalanya ke depan wajahnya sambil meletakkan punggung tangan ke dahinya.

"Lo sakit ya, Wa?" tanya Maura, yang bau mint dari mulutnya dapat tercium oleh Dewa.

"Nggak," jawab Dewa sambil meletakkan telunjuknya di dahi Maura lalu mendorongnya ke kursinya semula.

"Trus kok ngomong lo jadi irit gini? Biasanya kalo gue ngomong selalu dijawabnya bercanda. Minimal pake senyum konyol lo lah." Maura memegang lengan kiri Dewa. "Lo marah sama gue, ya?"

Gue cuma kecewa karna lo nggak bisa menatap gue kayak lo menatap Nando.

Gue cuma sedih karna nggak bisa ngungkapin perasaan gue ke lo.

Gue cuma marah karna gue ternyata udah jatuh cinta terlalu dalam sama lo.

Lebih tepatnya gue cuma lagi patah hati, Ra.

"Hmm jadi gini, Ra..." Dewa memegang tangan Maura yang berada di lengannya. "Sebenernya gusi gue lagi bengkak. Gue jadi males bercanda. Males ngomong."

"Bohong!" tukas Maura. Karena sentuhan di tangannya ini terasa berbeda dengan sentuhan Dewa yang biasanya. Lebih lembut. Lebih terasa sampai ke hati. Lebih terasa pedih.

"Mau liat beneran?"

Maura diam. Tidak menanggapi candaan Dewa. Ia masih menikmati usapan tangan Dewa pada tangannya.

Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Dewa, di barbershop tadi lo belom lanjutin omongan lo."

"Yang mana?" Dewa pura-pura lupa. Memang sebenarnya ia pun ingin melupakannya.

"Jangan pura-pura lupa!"

"Emang lupa."

"Gue masih inget semuanya. 'Seandainya gue bukan berasal dari keluarga berantakan, seandainya gue bukan perokok, seandainya gue nggak terlalu baik sama lo, seandainya kita nggak sahabatan... lo mau nggak ja--' terus apa lagi lanjutannya? Ja- apa maksudnya?"

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon