LTT Treinta (30)

774 64 70
                                    

Cuaca di luar menjadi semakin dingin. Memilih secangkir kopi hitam panas rupanya lebih baik daripada segelas teh lemon dingin, seperti yang selalu di lakukan Alex Marquez yang aneh dengan kebiasaannya.

Hujan mengguyur deras membuat jalanan kota mengkilap hitam. Sementara air hujan sedari tadi berebut mengetuk jendela kafetaria. Berulang-ulang, menciptakan irama indah nan syahdu di sela kesendirianku.

Kopi hitam.

Bibirku menarik garis tipis bersamaan dengan hela nafas berat yang tercekat ingin keluar.
Ini kedua kalinya aku minum kopi hitam dengan beberapa blok gula. Mencoba mencari sisi menarik dari sebuah minuman pahit ini. Mencari keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Mengapa Marc menyukai kopi hitam ini.

Aku mendefinisikan bahwa kopi hitam adalah masa lalu. Yang harus dirasakan pahitnya untuk kemudian ditambahkan gula sebagai teman yang menyatu. Baru menjadi perpaduan yang seimbang. Gula adalah masa depan.

Marc menjadi gulaku, awalnya. Dia hadir sebagai pemanis dan candu di setiap detik nafas.
Dan kemudian tanpa permisi, ia berubah menjadi kopi pahit.
Marc adalah masa laluku mulai hari ini.

Kulempar lagi pandangan pada jalanan licin di luar kafe. Melihat beberapa pemilik toko memilih menutup tokonya karena sebuah siaran pendek tentang ramalan cuaca. Sementara pedagang hotdog langgananku tetap pada posisinya, membuat hotdog tanpa mempedulikan hujan yang sedang menggila.

"Tidakkah kau ingin mengucapkan sesuatu padaku, heum?" tanya Marc suatu ketika dalam kafe dan bangku yang sama.

"Apapun yang akan kukatakan kau sudah mengetahuinya."

"Benar sekali." Sebaris gigi putih rapi terlihat saat Marc tersenyum lebar.

"Kenapa kau menyukai kopi hitam?" Marc menyesap cairan hitam kental di depannya, menatapku dengan alis terangkat.

"Semua orang menyukainya. Mungkin hanya kau yang tidak suka."

Kuputar bola mataku. Selalu saja Marc mengkambing hitamkan diriku.

"Eh, mulai merajuk." Marc dengan sikap jahilnya mendekati kursi yang kududuki lalu dengan telunjuknya ia menyentuh daguku. Sialan, itu membuatku berdesir.

"Kenapa kau selalu membuatku sebal?"

"Karena yang menyebalkan memang akan sulit dilupakan."

Mengingat ini, lagi-lagi air mataku menetes. Sedikit. Tapi menyentuh hati.

"Kau memang sulit dilupakan, sialan."

"Lalu mengapa kau juga tidak menyukai susu?" Giliranku tersedak saat menikmati segelas GreenTea dingin.

Marc menepuk punggungku membuatku sedikit terbatuk.

"Bagaimana kau tahu aku tidak suka susu?"

"Ternyata ingatanmu lemah juga ya. Huh. Kau tidak ingat saat aku 'menculikmu' saat di dalam bus? Waktu itu...."

"Aku ingat. Ingatanku tidak selemah yang kau pikir."
Berpura-pura marah tidak membuat Marc menyesal rupanya. Kulihat wajahnya sumringah saat tertawa--menertawaiku lebih tepatnya.

"Aku masih ingat, bodoh. Dan itu lebih menyiksaku karena bahkan aku tak bisa melupakannya."

Dreet dreet dreet

Di dalam saku jaket ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

Hari pernikahan mereka hanya kurang dua hari lagi. Kau di mana, Sel? Alex.

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now