LTT Siéte (7)

885 98 18
                                    

Seronoknyeeee yang ngevote cuman dikit.
Soklah.. tak ape. Berapapun vote yang saya terima, saya akan tetap update ini cerita.
Hiksss...

***

Ariana ""

Prom nite?

Ini acara tahunan yang aku tunggu-tunggu bersama Selena. Bahkan aku sudah mempersiapkan semuanya sejak beberapa bulan yang lalu.
Tentu saja aku selalu menyumbang sebuah lagu untuk kampus di malam prom.
Rasanya sudah tak sabar untuk datang lalu bernyanyi dengan gitar kesayanganku di atas panggung. Menantikan sambutan tepuk tangan dari teman-teman dan bouquet bunga.

Tapi rasanya aku takkan datang. Entah darimana asalnya peraturan tetap itu berasal. Bahwa yang berminat menghadiri pesta harus membawa pasangan. Selena tak pernah menghadiri prom. Kalian pasti tahu alasannya.
Dan Robbie, senior yang kini lulus dan bekerja di kantor dagang sepertinya takkan lagi bisa meluangkan waktunya untuk bersenang-senang.

Sama sekali aku tak berminat mengajak teman kampus lain. Itu karena mereka sudah banyak berpasangan. Dan aku menyesal terlambat mengetahui pengumuman prom yang akan dilangsungkan hari sabtu ini.

Kurobek kalendar yang menggantung di dinding.

Wednesday

Ugh... hanya dua hari tak masuk kampus aku harus melewatkan pengumuman berharga itu.

Bosan, kulempar tubuhku ke tempat tidur dan kunyalakan AC. Segera saja semilir angin dari AC mampu menyejukkan tubuh.

Aku tidak pernah memaksa otakku untuk memikirkan Marc. Karena aku tahu pria itu sedang memikirkan Selena. Memikirkannya saja membuat hatiku berdenyut.

Beginikah rasanya jatuh cinta?

Mengapa aku baru merasakannya pada Marc?

Kuraba degup jantung yang berdebar saat memikirkan Marc. Dia berdebar sekaligus berdenyut.

Apakah mereka sedang bersama?

Apakah mereka akan pergi ke prom bersama?

Aku menutup wajahku dengan bantal berusaha membuang jauh-jauh pertanyaan konyol yang selalu berkelebat membuat hati berdenyut.

Guk

Svanders, anjingku menggonggong saat dengan sekenanya bantal kulempar ternyata mengenainya.

"Maaf, Svan." Melihatnya diam menatapku, seakan ada pesan yang tersampaikan.

Aku mengerling padanya, membuat Svanders melompat-lompat senang. Pertanda bahwa dia akan mendapatkan biskuit anjing.

"Kau belum mengenal Marc, ya?" Aku berujar pada Svanders seolah-olah ia paham dengan kata-kataku.

"Dia tampan, kau tahu. Dia rider yang aku idolai sejak dulu. Sayangnya Marc lebih memilih Selena. Marc bilang dia menyukainya. Kira-kira apa Marc tahu perasaanku, Svan?" Mata Svanders mengerjap. Lalu menggonggong nyaring di depan wajahku seolah ingin berkata.

'Kau belum mencoba mengatakannya, bodoh. Katakan dulu baru kau tahu jawabannya.'

"Aku tidak mau mengatakannya, Svan. Selena lebih baik daripada aku." Kulihat Svanders melantai kembali.

Dasar anjing malas.

"Ariana," Suara gedoran pintu pelan terdengar ketika aku mencoba memejamkan mata.

"Ada apa, bu?" Kubuka pintu kamar dan menemukan Ibuku berdiri di ambang pintu bersama Selena.

Ya, Selena.

Hampir dua minggu aku tak bertegur sapa dengannya karena kelancanganku. Tapi kini malah Selena yang mengunjungiku. Apa maunya?

"Masuklah." Kuberi jalan Selena dengan menggeser bahuku. Dan menutup pintu saat Selena berada di dalam.

"Bagaimana kabarmu?" Selena bertanya.

"Baik. Kau?"

Selena hanya tersenyum menjawabnya.

"Kau tak pernah memanjat jendelaku lagi, kenapa? Padahal aku selalu membuka jendelaku."

Canggung. Oh ayolah, kita bukan anak kecil lagi Selena.

"Aku ingin minta maaf padamu."
Apa? Apa aku tak salah dengar?

"Selena, itu kesalahanku. Jangan minta maaf. Harusnya aku yang meminta maaf padamu." Bibirnya mengembamg, senyum manis terukir di sana.

"Sudahlah, aku sudah melupakannya. Aku tahu kau pasti punya alasan untuk itu."

"Selena...." ucapku penuh penyesalan.

"Kita masih berteman kan?"
Langsunh saja kupeluk sahabat terbaik yang pernah kumiliki itu. Tangannya yang halus menepuk-nepuk pundakku.

Harusnya aku yang mendatanginya lalu meminta maaf. Bukannya Selena yang lebih dulu mendatangiku seperti ini.

Uh, sahabat macam apa aku ini.

"Tentu. Kau seperti saudara sendiri untukku. Maafkan aku ya, tak seharusnya aku berkata begitu di depan Marc." Mendengar nama Marc, Selena melepaskan pelukannya.

"Kau kenal Marc juga?"

"E... iya." ucapku gugup.

"Marc yang membuatku ada di sini."

"Maksudmu?"

"Dia menceritakan sesuatu tentang masa lalunya. Tentang sahabatnya. Oh, aku tak ingin menyesal karena kehilanganmu."

"Kau rindu padaku ya?" Selena tertawa mendengarku.

"Jadi sekarang kau...."

"Ya, mungkin benar katamu bahwa Adam memang sudah meninggal. Aku takkan lagi menunggunya." Dalam hati aku merasa senang karena Selena memutuskan hal yang selama ini ingin ia dengar.

"Apa... kau... sudah membuka hati lagi?" tanyaku terbata. Berharap jawaban iya namun bukan Marc.

Marc, ya Tuhan. Kenapa memikirkannya lagi? Bukankah awalnya aku berniat menjodohkan Marc dengan Selena.

"Entahlah. Aku masih belum memikirkannya." Selena mengangkat bahu.

"Marc?"

"Marc? Hahaha, si pengganggu itu? Dia terlalu iseng. Aku tidak suka."

Tidak suka? Benarkah?

Tapi kenapa raut wajah Selena berseri-seri seperti itu.

"Kau sudah mau berteman dengannya?"

"Baiklah untuk teman, no problem." Dan kami tertawa bersama.

Aku benar-benar merindukan kebersamaanku dengan Selena seperti ini.

Aku audah melakukan kesalahan, dan Selena memaafkanku. Gadis itu memang terbaik untuk Marc.

***

Njejak ya gaess..

Coment vote dan krisar donk.

Gimana tanggapan kalian tentang cerita ini???

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now