LTT Cincó (5)

1K 89 8
                                    

Hari libur yang indah.

Pikir Selena sambil menyiapkan sarapan untuknya sendiri.
Dua lembar roti gandum dengan selai kiwi kesukaannya ditambah secangkir kopi yang masih mengepul di pagi yang dingin. Perfect Morning.

Sekilas ia teringat akan kedua orang tuanya. Mungkin pagi akan lebih indah jika ada Ayah dan Ibu di sana. Bibir Selena tersenyum membayangkan Ibunya yang sedang repot menyiapkan sarapan dan Ayahnya yang akan berbicara tentang melautnya.

Semua hanya dalam khayalan, tentu saja. Karena sejatinya kini Selena hanya sendiri. Apalagi mengingat sikap Arianna kemarin membuat Selena makin merasa sendiri.

Selena mengernyit saat menyeruput kopinya. Sebenarnya ia tak pernah suka kopi. Entah mengapa hari ini, ia ingin memasangkan roti panggangnya dengan secangkir kopi hitam.

"Uh... pahit." Selena menaruh kembali cangkir kopi dan mengiris roti panggangnya untuk menetralisir rasa pahit yang kini tengah memenuhi rongga mulutnya.

Baru sekali suapan roti, Selena mendengar bel pintunya berdenting.

"Siapa sih bertamu pagi-pagi begini?" Selena melempar serbetnya ke meja. Sedikit kesal.

"Ada ap...." Marc dengan senyum lebarnya yang---ugh Selena benci mengakuinya. Tapi senyum itulah yang selalu mengganggu setiap harinya.

"KAU LAGI? DEMI TUHAN!" Selena berteriak layaknya mantan pengikut Eyang Subur.

"Selamat pagi, sedang sarapan?" Marc nyelonong masuk tanpa mempedulikan tatapan protes Selena yang sepertinya tak ikblas rumahnya dimasuki Marc.

"Wah kopi panas." Marc menyesap kopi di atas meja yang sebenarnya milik Selena.

"Kau jago membuat kopi. Enak sekali." Selena yang masih kesal karena Marc menyerbu masuk tanpa izinnya hanya melengos.

Enak darimana? Pahit. Seandainya lelaki itu tahu, bahwa kopi barusan adalah kopi perdana buatan Selena.

"Mau apa kau kemari, huh?" Tanya Selena judes. Tangannya bersidekap di dada di tubuhnya yang menyender tembok.

Marc hampir kehilangan kendalinya saat melihat Selena dalam posisi seperti itu.

Hah..
Selena akan selalu terlihat cantik dan sexy dalam posisi apapun
Batin iblis jahatnya.

"Kalian bertengkar?" Tubuh Selena menegang. Sejak kemarin ia ingin melupakan kejadian Arianna yang mengecewakannya. Tapi pagi ini Marc datang malah membuatnya mengingat kembali.

Sejujurnya Selena tidak marah. Hanya kecewa. Merasa Arianna yang mengerti dirinya, hanya Arianna yang tak pernah bicara buruk tentangnya. Namun sekarang semua menjadi tombak bagi Selena.
Untuk sekian lamanya, baru kali ini ia merasa sendiri di dunia.

"Arianna benar. Aku hanya perempuan gila yang menganggap kekasihnya masih hidup lalu menyambutnya di sana-- di ambang senja sesuai janjinya." Marc menyadari ucapan Selena melemah.

Ada siratan kesedihan di sana. Atau keprihatinan terhadap dirinya sendiri. Entahlah, Marc tak mampu menebak.

"Cintamu sangat suci. Beruntung kekasihmu itu ya." Selena menatap Marc yang sekarang duduk manis di meja makan.

"Itulah yang membuatku tak ingin berteman dengan siapapun. Mereka menganggapku seperti ini. Seorang gadis gila yang hancur karena cinta." Selena mengadu giginya. Mencoba menahan airmata.

"Kau tidak gila. Hanya saja sisi hangatmu sedang berlibur entah kemana." Bibir Selena menyungging. Ucapan Marc sedikit menghibur.

"Jadi jangan lagi mengajakku berteman. Aku tahu diriku bukan teman yang baik." Selena ingin beranjak dari posisinya. Namun Marc lebih cepat menarik pergelangan tangannya hingga tubuh Selena berada dalam dekapan hangat Marc.

"Apa-apaan kau?" Selena melotot sebal.

"Bertemanlah denganku." Sorot mata Marc bersinar cukup membuat jantung sialan Selena berdegup.

"Tidak. Dan jangan lagi menggangguku. Kau boleh pulang sekarang." Marc melepas rengkuhannya dan berjalan ke arah pintu.

"Jangan bertengkar dengan Arianna." Ucapnya sesaat sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu.

"Maaf, rotinya kuhabiskan. Oke aku pulang." Marc muncul lagi di ambang pintu. Selena hanya menggelengkan kepalanya. Pemuda paling menyebalkan.

"Dan cobalah menyesap kopimu, itu akan terasa lebih nikmat daripada kau meneguknya. Oke-oke aku pulang sekarang." Marc mengangkat kedua tangannya saat Selena mengangkat sebuah piring.

Setelah dirasanya Marc sudah benar-benar pergi barulah Selena lega. Lega karena tak harus melihat sorot mata tajam nan menggoda itu.

***

"Psstt... Marc. Kemari." Marc memicingkan mata mencoba memperjelas pandangannya. Arianna berdiri di teras rumahnya melambai pada Marc.

"Rumahmu?" Tanya Marc.

"Ya, jadi ayahku ingin bertemu denganmu. Now."

"Baiklah karena kau sudah banyak membantuku. Dimana ayahmu?"

"Di belakang. Ayo kutunjukkan." Arianna menyelipkan tangannya pada lengan Marc. Namun tanpa Marc sadari, rindu dihati Arianna berdesir.

"Selamat pagi, Mr. Grande?" Sapa Marc pada seorang lelaki bertubuh tegap yang sedang sibuk di depan komputernya. Arianna melihat ayahnya menoleh, membetulkan letak kacamatanya dan....

"Marquez?? Are you really, hunny?" Arianna mengangguk senang.

"Awalnya aku mengira Arianna hanya berkhayal bahwa kau ada di sini. Di Oagleyville."

"Ini benar aku. Aku hanya berlibur."

"Oh, bagaimana kejuaraan musim depan?"

"3 bulan lagi dan aku sepertinya harus benar-benar memanfaatkan." Kata Marc sambil melirik Arianna. Arianna menunduk. Ia yakin yang dimaksud Marc adalah Selena. Bukan dirinya. Bukan.

"Ya kau benar, Marc. Baiklah kalian teruskan saja memgobrol. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku." Usai ayah Arianna pergi, kini hanya ada perasaan saling gugup.

"Kau belum minta maaf pada Selena?"
Arianna menggeleng. Marc tahu itu.

"Kalian bersahabat dari kecil."
Arianna mengingat masalalunya yang penuh dengan kenangan. Tapi Arianna tidak pernah menyesal telah mengatakan hal itu pada Marc
Bahwa Selena hanya membuang-buang waktu. Selena hanya depresi kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Apakah ia salah? Tidak bagi Arianna. Namun bagi Selena, itu sebuah cambuk. Arianna tahu, Selena takkan percaya padanya lagi.

"Aku tahu."

"Kalau begitu aku harus pulang, Alex menungguku di rumah. Dan... oh ya, tolong sampaikan pada Ayahmu. Jangan membocorkan idemtitasku ya, aku takut Selena tahu."

Selena lagi. Baiklah.

"Baiklah, nanti akan kusampaikan." Arianna membalas lambaian Marc yang telah pergi.

***

"Dia sangat membuatku penasaran. Dari awal aku bertemu dengannya, oh... aku menggila, Alex." Alex menangkap hal baru dari kakaknya yang menurutnya polos. Ada suatu pancaran khas orang jatuh cinta. Alex saja tak pernah merasakan hal seperti ini. Baginya, cinta cukup datang dan pergi.

"Kau jatuh cinta pada gadis itu? Arianna?"

"Bukan Arianna. Kau ini gimana sih?"

"Lalu? Bukankah gadis yang kemarin itu bernama Arianna?"
Marc menggeleng.

"Ya, dia Arianna. Tapi gadis yang kusukai adalah Selena." Mata Marc melebar, berbinar saat mengucapkannya.

"Kau benar-benar sedang jatuh cinta, bung." Alex melempar bantal sofa pada Marc.

"Benarkah? Apa ini namanya jatuh cinta?" Tanya Marc polos. Sedangkan Alex hanya memutar bola matanya lalu pergi dari hadapan kakaknya yang somplak itu. Merasa gregetan sama yang namanya Marc Marquez.

***

Jejak yo gaessss

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now