LTT Diecísiéte (17)

791 69 26
                                    

Aku benci hari ini.

Aku benci perpisahan.

Dengan kasar kuhempaskan kaos oblong merah dengan bordiran nomor 93 di dada kanannya ke tempat tidur.
Baru saja aku merasa bahagia bahwa kenyataannya Selena menerima cintaku. Dan kini harus rela berpisah lagi. Oke, berpisah untuk sementara.

Segala macam pikiran buruk terus saja menghantuiku sejak malam kemarin. Memang, siapa yang ingin menjalani hubungan jarak jauh seperti yang akan terjadi ini?
Karena berkirim email tidak akan cukup.

Kulihat Selena menggeliat dibawah selimut tebalku. Eits... kami tidak melakukan apapun kok. Ingat, aku pernah berjanji akan menjaga Selena seperti kertas putih yang tak kan pernah kubuat noda. Kecuali setelah menikah tentunya. Aku bukan pemuda yang begitu itu kok. Aku pemuda baik-baik fans.

Aku yang memaksa Selena untuk menginap di rumah ini. Tidur di ranjangku, sedangkan aku tidur di sofa. Tentunya aku tak ingin hal diluar akal sehatku terjadi. Come on, aku pria normal.

"Ada apa, Marc?" Suara serak Selena membuyarkan lamunanku.

"Aku tidak ingin kembali." ucapku lesu sambil mendaratkan bokong pada tepi ranjang.

"Ibumu merindukanmu. Pulanglah."

"Tapi kau...."
Aku merasa Selena mendekat dan memelukku dari belakang. Menyandarkan kepalanya pada punggungku.

"Tak apa. Kita bisa bertemu lagi. Aku akan menunggumu."
Demi apa, suara Selena saat bangun tidur terdengar begitu... yah kalian tahu sendiri.

"Aku berjanji akan menyelesaikan kuliahku secepatnya." Kuputar kepala menatap mata biru mudanya.
Melihat Selena tersenyum, hatiku berdesir. Tanganku bergerak memelai anak rambut yang menutupi sebagian wajah Selena.

"Omong-omong, apa tidak ada morning kiss untukku?" Selena mencebik lalu beringsut mundur.

"Tidak."

"Pelit sekali."

"Baiklah, aku harus pulang dan bersiap-siap mengantarmu ke bandara. Terima kasih atas tumpangan tidurnya." Selena mengambil jaketnya di gantungan baju lalu memakainya.

"Benar-benar tidak ada, sayang?" Mukaku memelas berharap Selena mengiyakan.

"Tidak, sayang. Tidak untuk saat ini. Aku pulang ya. Nanti aku kesini lagi. Jangan ada yang tertinggal." Selena keluar dari kamar dan kemudian kulihat ia sudah ada di luar berjalan pulang.

Menyerah, kurasa Selena benar-benar tak imgin menciumku. Kubalikkan telapak tangan dan menghembuskan nafas di sana.

"Bau mint. Aku kan sudah gosok gigi. Huh," Kembali kurebahkan badan di ranjang. Tidur di sofa membuat badanku pegal. Tapi demi Selena, justru aku tak ingin gadisku yang pegal-pegal.

***
Frankfurt International Airport

Tepat jam sebelas waktu Jerman. Aku hanya diam menanti waktu perpisahan ini dengan Selena. Kulirik dari sudut mata, tampaknya Selena juga tak ingin banyak bicara. Sementara Alex dan Ariana masih meributkan hal yang tidak penting. Gunting kuku. Senyumku menyungging melihat mereka.

Sejak kami berangkat, aku dan Selena hanya berkomunikasi dalam diam. Hanya saling menatap dan menautkan genggaman erat-erat. Bahkan ketika sampai di sini kami tetap ingin diam menyesapi kerinduan yang akan lama terobati. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku yang tersisa sekarang. Mengabaikan lalu lalang orang yang menatapku dengan wajah sumringahnya.

Aku tak peduli jika sekarang ada paparazi yang menemukanku bersandar pada bahu seorang gadis. Tak peduli para fans yang nekat mendekat. Sebaiknya Selena tahu siapa aku.

Tetapi nampaknya para penggemar hanya mampu menatapku dengan gemas di tempat mereka. Kulihat ada yang bergunjing yang aku yakin itu menyangkut Selena. Kulihat ada pula yang melambai lalu kubalas dengan anggukan dan senyuman. Namun sepertinya Selena tidak merasa terganggu dengan lamunannya. Ia tak tahu, pacarnya yang imut-imut ini sedang menjadi pusat perhatian.

"Kenapa kau diam saja?"

"Hmm... menurutmu aku harus bagaimana?"

"Entah, mengajakku berbicara mungkin?"

"Sedang tak ingin berbicara. Aku terlalu berat."

"Aku tahu. Aku juga merasakan hal yang sama. Nanti jika aku datang, kuharap kau mau memakai gaun pengantin yang kuberikan." Selena tersenyum.
Ingin kukantongi sebagai kenang-kenangan di Spanyol.

"Sementara... ini. Aku hanya bisa memberikan ini." Selena tertegun melihat kotak bening kristal yang kuulurkan.

"Apa-apan ini, Marc?"

"Ini cincin, Selena."

"Oh Tuhan, aku tahu. Tapi..."

"Tanda kau adalah milikku."
Selena menutup mulut dengan kedua tangannya. Air mata harunya menetes ketika kupasangkan cincin perak bermata pada jari manisnya.

"Aku mencintaimu, Marc."

"Aku lebih mencintaimu, sayang." Selena memelukku. Aku yakin bahwa para penggemar kini ingin histeris melihatnya. Sayangnya para penjaga dari Emilio harus menghadang.

"Romantis sekali." Ariana bergumam pelan. Alex mampu menangkap guratan cemburu dari wajah Ariana.

"Kau mau aku berikan cincin juga?"

"Eh? Memangnya siapa yang mau menikah denganmu?'

"Memangnya aku mengajakmu menikah?"

"Uh Alex," Aku mendengarnya, mendengar celotehan Ariana dan Alex yang kini sedang saling mengejar. Kuharap mereka juga bahagia sepertiku.

"Marc, Alex, kalian harus segera masuk pesawat." ucap salah satu kru yang ditugaskan untuk menjemputku.

"Kembalilah segera. Jangan lupa kirim email setiap hari 3 kali." Pesan Selena membuatku terkekeh.

"Akan kuusahakan. Jaga diri baik-baik." Aku mengacak rambutnya.

"Marc," aku menoleh lagi.

Selena berjalan ke arahku.

"Aku menunggumu." Dan bibirnya melekat erat pada bibirku. Begitu dalam dan lembut.

"Haduh, ayo cepat." Aku geram mendengar suara Alex yang memaksa itu. Mengganggu acara ciumanku saja. Huh...

"Sampai jumpa. Ariana, jaga diri baik-baik ya. Bye."

Selena dan Ariana melambai. Namun dapat kulihat keduanya menangis, berpelukan.

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now