LTT Veintinuéve (29)

752 64 80
                                    

Berawal dari pertemuan dengan lelaki itu di tepi pantai saat senja merangkak. Saat aku lelah lama berdiri setiap senja untuk menunggu seseorang yang sudah tewas tergulung ombak beberapa tahun yang lalu.

Hingga kemudian merasa sangat terganggu oleh kehadirannya.

Bagaimana setiap waktuku hanya melihat wajah konyolnya di depan mata itu membuatku jengah. Apalagi sikap-sikap ajaib yang kadang membuatku tak habis pikir
'kenapa harus lelaki seperti Marc yang harus hadir dalam hidupku.'

Dan ketika suatu pagi saat Marc sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, tak datang untuk merenggut roti bakarku, di situlah aku merasa ada yang kurang.

Marc menjadi wajah pertama yang kulihat saat membuka mata. Ia rela memaksa matanya untuk membuka begitu subuh mulai datang.

Jangan lupa DIA TAK PERNAH BISA BANGUN PAGI.

Alasannya sederhana, hanya untuk menjadi yang pertama berdiri di bawah balkon rumah dan menatapku dengan senyum lebar di sana. Nyatanya dia sangat hafal kebiasaanku.

Jangan lupa. DIA SEORANG PENGUNTIT.

Dia juga rela pulang larut malam hanya untuk menjadi yang terakhir mengucapkan selamat malam, menyelimuti dan mengecup keningku.

Jangan lupa, DIA TAKUT GELAP.

Dan berjalan dari rumahku ke arah pantai yang gelap tidak lagi membuatnya takut. Karena akulah cahaya yang selalu dalam genggamannya. Begitulah Marc pernah mengatakan hal itu padaku.

Aku mencintai pemuda sinting itu. Marc Marquez.

Pemuda yang berhasil membolak balikkan hati dan kenanganku. Yang dengan gigih mengusir setiap bayang masa lalu kelamku hingga hanya ada dirinya yang bertahta.

Senyum, tawa, ucapan-ucapan mesumnya, kekonyoloan, dan sikap seenak hatinya, bagaimana aku bisa merelakan itu semua untuk sahabatku?

Katakan aku egois. Aku tak ingin membagi Marc dengan siapapun. Tapi yang kupertahankan bahkan sedikit saja tak mampu menolak perjodohan itu.

Aku tahu dia berhutang nyawa, dan hal itu membuatku terpaksa memyerah lagi pada garis takdir.

Kali ini aku ingin tidak mempercayai takdir karena garisku yang terlalu merana. Ketika aku harus kehilangan keluargaku, dan sekarang aku harus kehilangan kekasihku.

Ini lebih sakit dari ucapan cinta seorang Ariana.

Kubiarkan angin pantai mendera dan menampar setiap kulit wajahku yang kuyakin kini terlalu sembab akibat menangis semalaman.

Tak berkurang sedikitpun rasa sakit hati ketika kucoba membuat riak air dengan melempar batu ke air.

"Ayah...." desahku berat. Berharap sosok ayah yang kurindukan kehangatannya bisa hadir memghiburku.

"Hei, kau di sini rupanya?" Buru-buru kuusap air mata begitu tahu siapa yang datang.

Alex duduk di sampingku. Matanya melempar jauh-jauh pada ombak pantai yang sedang pasang.

"Maafkan kakakku." Ucapnya memecah keheningan yang beberapa menit terjadi.

"Apa?"

"Marc sudah berbicara padaku semalam. Dan dia menerima permintaan Mr.Grande."

"Oh." Kembali ku tundukkan kepala menatap jari kaki yang kuselipkan pada pasir. Tak ingin Alex melihat mataku yg berkaca

"Kuharap kau menerima alasannya. Seperti aku." lanjutnya.

"Aku sedang mencoba. Semoga aku bisa sepertimu."

Alex diam. Mengikuti kegiatanku melempar batu atau kerikil jauh-jauh ke air.

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now