LTT Veinti (20)

801 77 19
                                    

Kuhempaskan tubuh lemahku pada tempat tidur dan membenamkan wajah. Ingin rasanya menangis merutuki keadaan. Tidak berdarah, namun terlalu perih untuk sekedar dirasakan.

Membiarkan tetesan air dari sudut mata berharap meredakan segala kesakitan hati.

Ini bukan mimpi. Marc di sana, bersama kekasihnya yang kutahu bernama Laia.

Laia gadis cantik, bertubuh proporsional. Rambut pirang tembaga jatuh lurus melewati bahunya yang putih mulus. Dan yang paling penting, dia dekat dengan Ibu Marc.

Kekonyolan apa ini?

Fakta-fakta baru yang kuterima sangat mengejutkan. Kekasihku-- maksudku yang menjadi kekasihku lima bulan yang lalu-- adalah seorang rider kelas dunia. Pantas saja Ariana dan Alex sering menanyakan hal serupa.

Dan sekarang, setelah lima bulan tak ada kabar, aku menggantungkan harapan untuk bisa bertemu dengan Marc di sini. Nyatanya?

Mengapa aku harus menjadi gadis bodoh lagi seperti ini?

Tok tok tok

Menggerutu dalam hati, aku mengutuk siapapun yang mengetuk pintu kamarku sekarang.

"Siapa lagi sih?" Aku menggerutu.

"Layanan kamar."
Merasa tak memesan pelayanan kamar, aku membuka pintu dengan malas. Ingin rasanya menyemprot habis-habisan siapapun yang mengganggu acara patah hatiku.

Marc berdiri di sana dengan cengiran lebarnya.
Gila. Masih bisa-bisanya dia nyengir di depanku.

"Hai, sayang." Tanganku sudah akan menutup kembali pintu kamar ketika Marc menahan celah pintu dengan badannya.

"Eh, kau kenapa sih?" Mataku menatapnya tajam. Lelaki ini sungguh menyebalkan. Apa dia tidak sadar dengan apa yang sudah dilakukannya.

"Kau yang kenapa. Kenapa pura2 bodoh dan pura2 tak mengenalku? Jadi karena itu kau tak membalas semua emailku? Punya kekasih baru rupanya. Pantas saja. Dia punya lebih dariku." Aku tak tahu bagaimana bisa mulut ini berbicara panjang lebar pada Marc.

"Kau salah sangka. Laia hanya sahabatku. Dia memang begitu, suka bercanda."

"Ibumu ingin menikahkanmu dengan Laia. Jadi lupakan saja aku. Gadis pesisir. Kau berhak mendapatkan gadis yang lebih pantas menemanimu di banyak jumpa pers."

"Bicara apa sih kau?" Marc membalikkan badanku yang ingin menjauh darinya.

"Kau takkan merasa risih jika para penggemar dan wartawan itu mewawancaraimu jika Laia ada di sampingmu, Marc."

Aku benar-benar menangis.

Sialan, lelaki ini hanya duduk di sofa dengan santainya menatapku.

"Sudahlah, anggap saja kita tak pernah bertemu atau kenal sebelumnya. Aku sudah mendapat jawaban dari berpuluh-puluh email yang kukirim. Tidak ada gunanya memintamu menepati janji. Keluarlah. Aku ingin sendiri." Kuangkat tanganku tinggi, menyerah pada hubungan aneh ini.

Aku tidak siap menerima kenyataan. Benar.
Aku pengecut. Benar.
Tapi aku punya harga diri untuk tidak berharap pada seorang lelaki yang menyakitiku.

Marc tetap pada posisinya. Kini ia menautkan kesepuluh jarinya untuk menopang dagu. Masih menatapku.

"Marc," Sengaja mengeraskan suaraku agar Marc berhenti menatapku demgan pesonanya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman hangat yang sangat kurindu.

"Hmm..." Aku berkacak pinggang merasa kesal dengan tingkah Marc seakan semua baik-baik saja.

Kubuang nafas kasar sembari mengusap wajahku yang mendidih.

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now