Hello, Memory Kesebelas!

Start from the beginning
                                        

Sebelum Guntur menutup pintu kamar mandinya, Galih sempat berbisik pada Guntur. "Jangan nonton bokep."

"Belagu lo. Nggak usah minta link nya lagi!" jawab Guntur lalu membanting pintu kamar mandi dan menguncinya.

Galih hanya tertawa lalu berjalan ke ruang tengah, mencari Hendra. Begitu matanya berhasil menemukan Hendra, Galih segera melangkah mendekatinya. Senyumnya terukir sekilas saat melihat Maura berdiri diantara mereka.

"Pah..." Galih memanggil Hendra saat sudah berada di samping ayahnya itu.

Hendra menoleh lalu menepuk bahu Galih. "Nah, ini dia orangnya. Anak gue yang kedua, si bontot yang dulu bikin rusuh di acara ulang tahun Maura," ucap Hendra yang membuat semuanya tertawa saat mengingat momen tujuh tahun yang lalu itu.

Maura hanya tersenyum dan mengangguk. Matanya bertemu dengan Galih, lalu kembali mengangguk sopan.

"Wah, ganteng banget sekarang!" puji Finda reflek. "Beda banget kayak yang dulu."

"Dulu masih labil dia," timpal Hendra.

"Iya, sekarang udah dewasa. Ganteng, keren, pintar pula. Ini si Maura... katanya anak murid kamu, ya?" tanya Pras sambil merangkul Maura.

"Iya, Om." Galih menjawab. Kemudian matanya kembali melirik Maura.

"Gimana Maura kalau di sekolah? Bandel, nggak?"

Galih menggeleng. Sesekali masih terus melirik Maura yang menurutnya nampak lebih cantik dan berbeda dari penampilannya saat di sekolah memakai seragam.

"Pintar, Om. Bahasa Inggrisnya lancar banget."

"Oh... iya emang pengin kuliah di Singapore katanya."

"Hebat," puji Galih sambil mengangguk-angguk.

"Ya udah ayo pada makan dulu, dicobain makanannya. Aku mau nemuin yang lain dulu, ya." Hendra dan istrinya pamit pada Pras dan Finda.

"Iya, iya, silakan. Sekali lagi selamat, ya," ujar Pras.

"Iya. Makasih banyak udah dateng jauh-jauh dari Bogor." Hendra lalu menatap Galih. "Kamu temenin Maura aja, kasian dia ngebuntutin orangtuanya terus."

Pras tertawa. "Nggak apa-apa, dia udah biasa ikut-ikut kita kok."

"Ya kan biar sekalian ngomongin pelajaran sekolah gitu."

"Ayo, Maura." Tiba-tiba Galih mengeluarkan suara. Mengajak Maura sambil tersenyum. Maura pun menoleh bingung ke arah orangtuanya. Pras dan Finda lalu tersenyum dan mengangguk, mempersilakan Maura bersama Galih.

Akhirnya, Maura pun mengangguk. Setelah para orangtua pergi dari tempat, tinggal Maura dan Galih yang berdiri berhadapan. Padahal tidak janjian, tone warna pakaian keduanya nampak serasi.

"Sudah belajar? Hari senin ujian akhir semester, kan?" Galih memulai percakapan lebih dulu pada anak muridnya itu.

Maura mengangguk. Sebisa mungkin selalu menjaga kesopanan gerak-gerik maupun bicaranya. Biarpun Galih anak dari teman ayahnya, Galih tetap guru Maura.

"Udah, Pak. Tinggal diulang-ulang aja," jawab Maura.

Galih mengangguk-angguk. Sebelah tangannya masuk ke saku celana. "Mau minum? Yuk," ajaknya.

Maura mengangguk. Galih berjalan lebih dulu menuju meja tempat gelas-gelas berisi minuman tersedia. Setelah mengambil salah satu gelas berisi minuman berwarna merah, Maura meneguknya perlahan. Jujur saja, sebenarnya dia memang haus. Perjalanan menuju ke sini tadi cukup panjang.

"Oh iya, berarti Pak Galih udah lama tinggal sendiri di Bogor, ya?" Maura bertanya setelah air di gelasnya kosong. Dari ujung matanya, sedari tadi dia dapat melihat beberapa gadis yang diam-diam melihat ke arah mereka berdua.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now