Istri-istri mereka ikut tertawa, tetapi Maura hanya tersenyum. Matanya memindai ke sekeliling ruangan, mencari barangkali ada anak seusianya yang bisa diajak bicara. Ketimbang harus bergabung dengan para orangtua.
"Ini Maura, ya?"
Pertanyaan Hendra otomatis membuat Maura memutar kepalanya. Merasa terpanggil. Dia pun tersenyum pada laki-laki berkacamata itu.
"Iya, udah besar, kan? Cantik kayak Mamanya," balas Pras. Membuat Finda tersenyum malu-malu.
"Ya ampun... dulu masih segini lho." Hendra menurunkan tangan kanannya sebatas paha. Terlalu berlebihan. Padahal terakhir kali mereka bertemu waktu usia Maura sepuluh tahun, dan saat itu tubuhnya tidak sampai sependek itu.
"Sekarang udah kelas tiga SMA," kata Pras. "Katanya Maura ini muridnya anakmu lho, Hen."
"Oh ya? Siapa? Galih?" Hendra mengerutkan keningnya. "Galih kan ngajarnya di Bogor."
"Kita kan emang udah pindah ke Bogor."
"Lho, udah nggak di Bandung?"
Pras menggeleng sambil tersenyum.
"Oh, ku kira masih di Bandung." Hendra kemudian terlihat memutar kepalanya ke sekeliling, seperti mencari seseorang. "Galih mana, ya?" tanyanya pada diri sendiri yang bisa didengar oleh mereka.
Sang istri ikut memutar kepalanya, mencari-cari Galih. Kemudian tangannya melambai pada seseorang, namun bukan Galih. Saat seseorang itu sampai di tempat mereka, istri Hendra bertanya.
"Galih mana?"
Laki-laki itu mengangkat bahunya. Tidak tahu.
"Ini anak pertamaku, Pras. Kakaknya si Galih, namanya Guntur. Sekarang udah pada bangkotan semua anakku, ya." Hendra tertawa. Laki-laki bernama Guntur itu pun menyalami Pras, Finda dan maura bergantian.
"Ganteng banget anakmu sekarang, nggak kayak Papanya," canda Pras.
"Waktu seumur mereka juga gue ganteng," jawab Hendra. Lalu matanya beralih menatap Guntur. "Sana cari Galih, ini ada anak muridnya." Hendra menunjuk Maura.
Laki-laki tinggi dengan jas abu-abu itu mengangguk lalu pamit untuk mencari adiknya. Guntur tahu, Galih pasti sedang mengurung di kamar mandi. Dia tidak terlalu suka jika teman, client atau kolega ayahnya itu sudah berkumpul di suatu acara seperti ini. Ujungnya pasti akan ada pembicaraan yang menjurus ke arah memperkenalkan putri mereka padanya. Galih sama sekali tidak tertarik pada perempuan yang berdandan seperti kebanyakan anak teman atau client ayahnya itu.
Jadi Galih lebih memilih duduk di kamar mandi, menghabiskan rokoknya.
Gedoran pintu kamar mandi diikuti suara Guntur membuat Galih bangkit dan membuka pintu kamar mandi setengah. Rokoknya dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah. Alisnya terangkat.
"Dicariin Papa," kata Guntur.
"Males, lo aja sana. Lo kan lebih ganteng dari gue," jawab Galih.
"Bukan itu!" Guntur menendang kaki Galih. "Ada anak murid lo katanya," lanjut Guntur.
Sontak, Galih mengerutkan keningnya. Anak murid gue yang mana yang ada di Jakarta? pikirnya.
"Anaknya Om Pras, yang di Bandung." Guntur seolah menjawab kebingungan di dalam kepala Galih.
Laki-laki berjas navy itu menjentikkan rokok di jarinya lalu membuang ke tempat sampah. Pintu kamar mandi dibuka lebar dan tubuhnya lalu berjalan keluar. "Di mana Papa?" tanyanya saat melewati Guntur.
"Cari aja sendiri," jawab Guntur lalu bergantian masuk ke kamar mandi. Sama seperti yang dilakukan Galih tadi, merokok dan bersembunyi dari perkenalan gadis-gadis yang rata-rata bukan seleranya.
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kesebelas!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)