Dewa tidak bisa belajar seperti ini. Dia hanya bisa fokus jika tidak ada oranglain yang berada di dekatnya. Tidak ada suara nafas oranglain, suara kertas yang dibalik bersahutan, suara goresan pensil, suara meja atau bangku yang bergeser, atau suara detik jam.
Dewa tidak bisa fokus.
Alhasil, cowok itu malah mengunyah permen karetnya sambil memainkan ponselnya dengan earphone di kedua telinga. Buku-bukunya berserakan di samping tubuhnya, dalam keadaan tertutup rapih. Sebelum ini Dewa malah mengobrol dengan Bi Kokom di dapur. Mengajarkannya bahasa Jepang lagi.
Saat suara musik yang didengarkan Dewa sedikit terdengar oleh Maura, cewek itu mengalihkan pandangannya dari buku ke arah Dewa. Tatapannya malas dan kesal. Namun belum juga sempat mengeluarkan suara untuk menegur Dewa, ucapan salam dari Finda terdengar dari arah pintu rumah.
Wanita yang memakai dress batik selutut dan tas tangan berwarna hitam itu tersenyum dan berjalan ke arah tiga remaja itu. "Nyokap gue," kata Maura pada Nando, yang sebelumnya memang belum pernah bertemu dengan Finda maupun Pras.
Nando membulatkan bibirnya sambil mengangguk lalu berdiri bersama Maura, menyalami Finda. Hanya Dewa yang tidak berdiri. Cowok itu masih memejamkan matanya dengan suara musik di telinganya, tidak sadar akan kehadiran Finda.
Baru setelah Maura menendang kaki Dewa, cowok itu membuka matanya dan mendongak. Saat dilihatnya Finda berdiri selurus dengan posisi duduknya, Dewa segera melepas earphonenya dan berdiri menyalami Finda.
"Maaf, Tante," kata Dewa sambil meringis.
Finda menepuk pelan lengan Dewa. "Kamu ini emang kebiasaan."
Dewa semakin meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Finda lalu beralih menatap Nando. "Ini pasti Nando, ya?" tanyanya, berusaha menebak. Karena dari cerita-cerita Maura padanya, Nando memiliki ciri-ciri seperti anak laki-laki ini.
"Iya, Tante," jawab Nando seraya mengangguk.
"Oh... lagi pada belajar, ya?"
Ketiganya mengangguk. Padahal Dewa tidak belajar. Hanya ikut-ikut mengangguk saja.
"Ih, ikutan ngangguk. Belajar juga enggak!" seru Maura pada Dewa.
"Belajar kok. Belajar kan nggak harus pelajaran sekolah doang." Dewa menjulurkan lidahnya.
Maura memutar bola matanya malas. "Daritadi nih, Ma, dia nggak ikut belajar. Malah ngobrol sama Bi Kokom, nonton tv, main hp, dengerin musik, ketawa-ketawa baca komik." Maura mengadu pada Finda.
Finda tertawa. Menarik bahu Maura mendekat padanya. Tangannya mengusap-usap rambut putrinya. "Lagian kamu juga, orang nggak mau ikut belajar bareng kok dipaksa sih."
"Kan bagus dong, Ma, belajar bareng-bareng."
Dewa mencibir. "Apanya belajar bareng. Belajar bareng tuh diskusi, bareng-bareng ngebahas pelajaran, jawab soal. Ini mah sama aja belajar sendiri-sendiri tapi bareng-bareng."
"Tuh, bener kata Dewa." Finda menimpal.
"Nggak semua orang metode belajarnya itu sama, Sayang. Mungkin kamu sama Nando sama, tapi Dewa bisa aja beda. Dulu waktu kuliah Papa kamu juga sama tuh kayak Dewa, keliatan dari luarnya sih emang males, nggak pernah ikut belajar bareng anak-anak yang lain. Tapi sebenernya dia belajar sendiri, tanpa siapapun tau," lanjut Finda dengan nada keibuannya yang lembut penuh pengertian.
"Karena ada orang yang tetep bisa fokus dan konsentrasi dimanapun dan dengan siapapun, ada juga orang yang cuma bisa fokus dan konsentrasi kalau sendirian." Dewa ikut menyahut. Sepemikiran dengan Finda.
"Nah, bener tuh!" respon Finda yang membuat Dewa memasang ekspresi dan gaya sok gantengnya. Membuat Maura lagi-lagi memutar bola matanya malas.
"Makanya mulai sekarang jangan lagi melihat orang dari apa yang terlihat di luarnya aja. Dan jangan juga menyamaratakan semua orang ke dalam satu tipe. Ngerti kan maksud Mama?" Finda bertanya pada Maura. Dari kalimatnya dan ekspresinya itu, Maura mengerti ada maksud lain yang ingin disampaikan Finda padanya. Dia pun mengangguk.
Tidak semua yang terlihat baik hanyalah topeng agar tidak terlihat buruk, bisa juga karena memang benar-benar baik. Dan juga tidak semua yang terlihat buruk adalah buruk, bisa juga ternyata sebenarnya baik.
"Mama kok tumben udah pulang?" tanya Maura kemudian.
"Kan nanti malem kita mau pergi, Sayang."
Maura mengerutkan keningnya. "Ke mana?"
"Kok lupa, sih? Kita mau ke rumah temen Papa, ke pesta ulang tahun pernikahan. Mama kan udah bilang sama kamu dari kemaren-kemaren."
"Emang aku jawab mau ikut?"
Finda mengangguk.
"Emang temen Papa yang mana?"
"Pak Hendra. Anaknya kan guru di sekolah kalian tuh." Finda ikut menatap Dewa dan Nando.
"Guru kita? Siapa namanya?"
"Duh, siapa ya... pokoknya yang pasti nama belakangnya Permana lah."
Maura, Dewa dan Nando mengerutkan keningnya masing-masing. Mengingat-ingat nama guru mereka yang berakhiran Permana. Dan kemudian Nando lah yang pertama kali berhasil menemukan jawabannya.
"Galih Permana?" ucapnya ragu.
"Nah, iya tuh bener." Finda menjentikkan jarinya ke arah Nando. "Galih Permana."
"Pak Galih? Pak Galih?! Pak Galih guru bahasa Inggris?" Maura kaget dan heboh bertanya pada Nando. Cowok itu pun hanya bisa mengangguk membenarkan.
Ya ampun, Pak Galih yang itu? Maura membantin tak percaya.
"Ih, kamu masa lupa sih, Sayang. Kan dulu juga kita pernah ketemu waktu masih di Bandung," kata Finda yang membuat Maura menoleh lagi pada ibunya itu.
Ingatannya terus-menerus digali. Tentang wajah Pak Galih yang sepertinya memang tidak pernah Maura lihat sebelumnya.
"Lupa, ya? Dulu waktu kamu ulang tahun kesepuluh kan dia dateng, bikin heboh nyanyi di panggung."
Maura langsung menegakkan tubuhnya. Sudah mendapatkan kembali ingatannya. Dia menatap Finda sambil melotot tak percaya. "Yang dulu ceking, gondrong, pake kacamata item nyanyi lagu Surti-Tejo di panggung itu, Ma??!!"
Finda tertawa terbahak-bahak. Begitu pula Dewa dan Nando yang ikut geli membayangkan gurunya menyanyikan lagu Jamrud yang liriknya blak-blakkan pada jamannya itu di ulang tahun bocah umur sepuluh tahun.
"Iya dia yang itu. Yang lagunya baru setengah udah langsung disuruh turun dan dijewer sama Pak Hendra. Ya ampun, Mama penasaran anak itu sekarang kayak gimana ya?"
Ya ampun, Ma, Pak Galih sekarang ganteng. Beda banget kayak dulu! jeritan hati Maura.
Lalu Maura pun baru ingat, ternyata alasan waktu itu Pak Galih mengenal dirinya dan Pras saat pertama kali mengabsen di kelas adalah karena dulu mereka pernah bertemu sebelumnya.
Ternyata dunia memang sempit.
***
Semoga gak bosen bacanya ya :))
Komentar dan sarannya ditunggu banget lho!
Oiya, mau ngingetin sekali lagi. Cerita ini bersetting waktu thn 2008, jd jgn lg ada yg bingung ada orang kaya yg pake blackberry atau ada lagu jamrud ya hahaha
Generasi 90'an pasti paham xD
<<< Inesia Pratiwi >>>
(re-publish 12/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kesepuluh!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)