"Mau ke mana?" tanya Dewa, suaranya dalam dan rendah. Sebisa mungkin menahan agar tidak tinggi. "Dari mana?" kejarnya.
"Gue abis beli minum." Maura menunjukkan botol air mineralnya.
"Kenapa nggak bilang?"
"Ngapain harus–"
Belum selesai Maura menjawab, Dewa tiba-tiba memegang kedua bahunya. Matanya tidak lepas dari mata Maura. Dan tiba-tiba saja, entah mengapa jantung Maura berdegup sangat kencang. Maura benar-benar khawatir. Dewa kenapa? Ada apa?
"Jangan pernah pergi. Atau pura-pura pergi. Tanpa sepengetahuan gue."
Ucapan yang keluar dari bibir Dewa itu penuh tekanan di tiap kata nya. Matanya tegas penuh keseriusan. Sekilas Maura melihat ada sebuah kemarahan di tatapan mata itu. Juga sebuah kekhawatiran dan ketakutan.
"Jangan pernah, Ra!"
Maura tidak mengerti apa yang terjadi, mengapa Dewa tiba-tiba seperti ini. Kaget dengan Dewa yang tidak seperti biasanya. Dia bahkan menelan ludahnya susah payah. Matanya mengerjap berulang kali.
Tetapi ucapan Dewa itu berhasil membuat Maura mengangguk. Seakan terhipnotis oleh perintah tanpa alasan itu. Bahkan Maura tidak bertanya apapun lagi.
Maura terlalu tenggelam dalam tatapan mata Dewa.
Puas dengan anggukan Maura, Dewa menurunkan tangannya dari bahu Maura lalu berbalik. Saat kakinya mulai melangkah, dari belakangnya Maura memanggil dengan suara yang amat sangat lembut. Membuat Dewa reflek memejamkan matanya.
"Dewa..."
Suara lembut itu melemahkan hatinya lagi. Sejujurnya Dewa pun tidak mengerti dengan dirinya saat ini. Kehadiran Maura menjadi penting baginya, yang jika tidak dia ketahui berada di mana akan membuatnya marah. Juga khawatir.
Dewa ingin selalu tahu keberadaan Maura, ingin selalu melihat wajahnya. Supaya jika nanti sesuatu buruk terjadi pada Maura, Dewa bisa melindunginya.
Ya, seperti perasaan kepada kekasih. Meskipun tahu Maura bukan miliknya.
Kemudian Dewa tidak memutuskan untuk berbalik. Dia membuka matanya lalu kembali melanjutkan langkah. Tangannya masuk ke saku celana, sembari mengatur irama nafasnya. Dengan suara agak keras, Dewa berkata, "Oke, gue mau belajar bareng."
Apapun gue mau, asal lo jangan pergi. Dewa melanjutkan dalam hati.
Dan di tempatnya berdiri, Maura tidak tersenyum ataupun senang mendengar jawaban itu. Telinganya masih terngiang ucapan Dewa tadi, dan matanya masih merekam tatapan Dewa tadi.
"Jangan pernah pergi, atau pura-pura pergi tanpa sepengetahuan gue."
Kalimat itu terus saja terngiang. Dan baru kali ini Maura melihat ada sorot marah, takut dan khawatir bercampur menjadi satu di tatapan mata Dewa padanya. Seperti tadi.
***
Sabtu sore ini, Dewa dan Nando sudah berada di ruang tamu rumah Maura. Sejak siang tadi mereka sudah berada di rumah Maura untuk belajar bersama. Entah apa maksud dari belajar bersama, Dewa juga tidak mengerti. Ini hanya seperti belajar masing-masing, tetapi dalam ruangan yang sama.
Apa bedanya dengan belajar sendiri?
Setahu Dewa, belajar bersama itu saling diskusi dan menjawab soal bersama-sama. Tetapi lihat ini... Maura dan Nando hanya fokus pada buku mereka masing-masing. Dan sesekali hanya gentian bertanya satu atau dua hal yang tidak mereka mengerti.
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kesepuluh!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)