Hello, Memory Kesepuluh!

Start from the beginning
                                        

Semenjak hari itu, kini setiap hari mereka bertiga selalu berangkat dan pulang bersama. Saat berangkat, Dewa menjemput Maura terlebih dulu baru menjemput Nando. Sesuai urutan jarak rumah masing-masing.

Tak hanya berangkat dan pulang bersama, Nando juga terkadang turut serta jika Maura dan Dewa pergi atau makan ke suatu tempat. Tentunya dengan syarat Nando tidak bisa terlalu lama, karena dia harus membantu ibu dan adiknya di rumah. Juga dengan syarat Nando tidak usah mengeluarkan uang apapun. Semuanya ditanggung Maura dan Dewa. Yang terkadang membuat Nando jadi merasa tidak enak.

Hari ini pun Maura berinisiatif untuk mengadakan belajar bersama di rumahnya. Berhubung hari senin adalah hari pertama ujian akhir semester satu. Namun pertama-tama, dia akan membujuk Dewa terlebih dahulu. Karena Maura tahu Dewa tidak suka belajar bersama. Dia lebih suka sendiri, tanpa suara apapun.

"Mau, ya, please...?" bujuk Maura sambil memasang wajah paling menggemaskan sebisanya. Barangkali Dewa bisa luluh dengan cara ini.

Dewa yang saat ini sedang mengganti sepatu futsalnya dengan sandal di pinggir lapangan pun menoleh. Keringat di wajahnya berkilauan. Nafasnya masih terengah-engah.

"Bukannya kasih minum kek," ucap Dewa. Ternyata tidak luluh.

"Bilang mau dulu."

"Iya mau."

"Serius?!!!" Wajah Maura cerah seketika.

"Iya mau minum."

"Ih, Dewa!" seru Maura. Bibirnya mengerucut sebal. "Ayo belajar bareng!"

"Bareng-bareng belajar mencintai? Ayo!"

"Wa, serius dong. Kalau nggak gue pergi nih."

Selesai melepas sepatunya, Dewa mengacak-acak rambutnya yang basah sehingga tangannya penuh keringat. Kemudian dengan iseng dicipratkan pada Maura. "Nggak mau!" jawabnya bersamaan dengan jeritan kesal Maura.

Dewa hanya menjulurkan lidahnya lalu bangun dan berlari kecil ke arah toilet untuk mengganti kaos bolanya. Sekaligus menghindari dari kejaran Maura.

"DEWAAAAA!!!" jerit Maura di tempatnya. Beberapa teman mereka yang masih berlarian mengejar bola di lapangan kompak menatap Maura.

Karena malu sekaligus kesal, Maura akhirnya bangun dan pergi dari pinggir lapangan. Cewek itu membawa tasnya berjalan ke luar gerbang sekolah dengan bibir yang masih mencebik. Berniat membeli makanan dan minuman di luar.

Dewa yang baru kembali dari toilet mengerutkan keningnya saat tidak melihat Maura maupun tasnya di tempat semula. Cowok yang sudah kembali memakai seragam sekolahnya itu meneriaki salah satu temannya di lapangan.

"Maura mana?" tanyanya.

Temannya itu hanya mengangkat bahu sambil berusaha mengoper bola ke timnya.

"Tadi papasan tuh. Bawa tas, jalan keluar gerbang." Temannya yang lain ikut menyahut. Dengan botol minuman dingin di tangannya, datang dari koridor depan.

Mendengar itu, Dewa langsung berlari ke arah gerbang sekolah. Bunyi sandalnya menggema di koridor sekolah yang sudah sepi. Kemeja sekolahnya yang tidak dimasukkan berkibar oleh angin.

Satu-satunya yang ada dipikiran Dewa saat ini adalah Maura marah padanya, lalu memutuskan pulang sendiri.

Tetapi ketika sampai di dekat gerbang sekolah, Dewa sudah kembali melihat sosok Maura yang berjalan berlawanan dengannya. Mimik wajah gadis itu bingung melihat Dewa berlarian keluar.

"Dewa, kenapa?" tanya Maura sebelum Dewa menuntaskan langkahnya.

Dengan nafas yang sedikit memburu, kedua tangan di pinggang, Dewa menatap Maura lekat-lekat. Kekhawatiran nampak jelas di kedua bola mata itu. Yang ikut membuat Maura merasa cemas. Takut sesuatu buruk terjadi.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now