LTT Uno (1)

2.2K 149 91
                                    

Marc terbangun dari tidur siangnya setelah semalam ia hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang luxury. Benar-benar susah tidur dengan desiran angin pantai yang menderu di luar.
Ya, susah karena ia menikmati desiran demi desiran seorang diri. Berkali-kali merutuki diri sendiri karena memilih sendiri di tempat ini.

Alasan klise, Marc. Bilang saja kau takut dengan bunyi-bunyi ombak dan angin yang menderu malam tadi.

(pengalaman author : sumpah suasana tidur di rumah pantai itu luar biasa menakutkan. Apalagi authornya cuma pake tenda. hiiiii)

Untunglah pagi segera datang hingga akhirnya Marc bisa memejamkan matanya hingga siang hari.

Sebelumnya Marc sudah berandai-andai bahwa nanti-- sesampainya di rumah ini, ia akan melihat sunrise dan sunset secara langsung.

Haah... boro-boro. Jarum jam berada diangka SATU di siang hari saat Marc membuka matanya.

Beberapa saat hanya bermalas-malasan di kamar, Marc turun dari peraduannya memutuskan untuk mandi. Tubuhnya perlu aroma musk agar kembali segar untuk siap bertemu dengan helaan semilir angin pantai. Dan tentu saja menunggu gadis berbaju hitam kemarin.

"That's cool, men." Puji Marc sendiri saat berhasil menata rambutnya di depan cermin. Kemudian tak lupa menyemprotkan cologne pada tubuhnya sebelum berpakaian.

Begitu Marc turun, ia melihat beberapa makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Memang Marc menyewa salah satu pengurus rumah ini untuk membersihkan dan memasak untuknya.

Oh ayolah... Marc takut memegang pisau. Apalagi masuk dapur. Jangan HARAP.

Tak enak memang jika harus menikmati makanan lezat ini sendirian. Sekilas bayangan Alex melintas. Bocah tengil itu pasti dengan senang hati menghabiskan semua makanan lezat ini. Mana tahan bocah itu jika melihat makanan. Apalagi seorang cewek. hihihi.

Matahari sudah separuh tenggelam, sementara Marc hanya duduk di tepian menunggu air surut. Sambil kakinya berkecipak di air, ia berkali-kali mengawasi.
Mungkin gadis itu akan kembali.

Marc ingin berteman saja. Barangkali jika memiliki teman seorang gadis, sedikitnyà ia bisa memahami bagaimana tingkah lakunya, apa yang diinginkannya, dan yang penting, ia bisa mempraktekannya pada gadis yang ia suka atau lebih parahnya--yang dijodohkan Alex. Takkan membiarkan Alex mengatainya sebagai cowok tidak peka lagi.

Matahari benar-benar tenggelam, sementara gadis itu tidak nampak. Marc sedikit kecewa dan memutuskan untuk kembali ke rumah pantai.

Marc menoleh sekilas ke tempat gadis itu kemarin muncul. Langkahnya terhenti saat melihat gadis itu--kali ini memakai sweater biru muda, celana hitam dan pinaple hat berwarna ungu. Tetap berdiri di sana, memandang nanar pada hamparan pantai yang mulai surut.

Dengan langkah pasti kaki Marc bergerak kearahnya. Namun ketika berada dekat dengan gadis itu, mendadak lidah Marc kelu. Kata yang semalam dirangkainya untuk berkenalan mendadak hilang tak bisa diucapkan.

Oh shit... rupanya sisi gugupku kambuh lagi jika menyangkut tentang seorang gadis.

Marc tersenyum gugup saat gadis itu berbalik dan terkejut melihat Marc ada di belakangnya sedang menatap dengan senyum lebarnya yang--diakui oleh gadis itu--Menawañ.

"Hai." Marc menyapa, berharap ada percakapan lebih panjang. Namun gadis yang kini sedang ada dihadapannya hanya diam. Tanpa senyum, tanpa keramahan. Hanya diam menatap Marc dengan mata coklat pekatnya.
Marc menelan saliva nya.

Beautiful. Like a barbie.
Gumam Marc dalam hati.

"Kau... siapa namamu?" Tanya Marc ketika gadis itu tak juga menjawab sapaannya.

A Love At The Thresold Of Twilight (Marc Marquez & Selena Gomez) COMPLETEDWhere stories live. Discover now