"Rumah kamu di mana?" tanya Galih sambil memakai sabuk pengaman.
Setelah Maura menyebutkan alamatnya, mobil melaju keluar dari barisan parkiran.
Dan selama perjalanan, diisi dengan obrolan yang lebih banyak dimulai dari Galih. Karena Maura adalah gadis yang mudah berinteraksi dengan oranglain, maka mereka pun semakin larut dalam pembicaraan. Tertawa bersama hingga menyanyikan lagu dari radio bersama.
Dari situ Maura tahu, sisi lain dari Galih di luar kelas.
Dan dari situ pula Galih mulai tahu, beberapa hal tentang Maura.
***
Sampai di depan rumahnya, Maura turun dari mobil Galih. Lewat kaca jendela yang terbuka, Maura menyampaikan ucapan terimakasih lagi pada gurunya itu. Setelah sebelumnya menawarkan untuk mampir, namun Galih menolak.
"Salam ya buat orang tua kamu."
Maura mengangguk lalu tak lama mobil hitam itu berlalu. Di depan pagar rumahnya, Maura tersenyum saat melihat mobil Dewa terparkir di sana. Dia buru-buru berjalan masuk ke rumah. Di teras, Dewa duduk sendirian sambil menatap ponselnya. Saat bunyi sepatu Maura semakin mendekat ke arahnya, Dewa pun mengangkat kepalanya.
"Dianterin siapa?" tanya cowok itu langsung.
Maura duduk di kursi jati sebelah Dewa setelah meletakkan tas nya di meja. "Pak Galih."
"Pak Galih guru kita?"
Maura mengangguk.
"Kok bisa?"
"Ya kenapa ya... soalnya temen gue yang biasanya nganterin pulang tiba-tiba nggak masuk sekolah sih." Maura menjawab santai, menyindir Dewa sambil melepas sepatu dan kaos kakinya.
Dewa mengulum senyumnya. "Kenapa tuh?"
"Nggak tau. Dari pagi nggak ada kabar, gue sampe hampir telat masuk sekolah gara-gara nungguin dia jemput."
"Parah banget. Yang mana sih orangnya?"
"Yang itu tuh. Pokoknya ngeselin, sok ganteng, usil, konyol. Nggak banget pokoknya deh, ih!"
"Tapi pas nggak ada bikin khawatir kan?" Dewa memiringkan kepalanya ke arah Maura, dengan senyuman konyol khas nya. Alisnya dimainkan naik turun.
"Enggak. Sama sekali! Malah enak banget karna nggak ada dia, gue jadi bisa dianterin pulang sama guru ganteng." Maura memegang kedua pipinya dan tersenyum seolah tengah membayangkan wajah Pak Galih.
"Ganteng apanya! Model begitu mah pasti koleksinya banyak," cibir Dewa.
"Sirik tanda tak mampu!" balas Maura gantian mencibir Dewa. "Lagian kemana sih lo, nggak ada kabar!" serunya lagi sambil menatap galak Dewa.
Dewa tidak menatap balik Maura. Dia menyandarkan punggungnya ke tembok belakang kursi. "Emang gue siapa lo mesti ngasih kabar terus?" ucapnya asal dengan mata menatap atap.
"Ya lo kan temen gue. Biasanya juga berkabar kalau nggak bisa jemput," jawab Maura, masih dengan tatapan galaknya.
Temen. Temen doang. Iya, temen doang. Dewa membatin.
"Gue dari Jakarta," ucap Dewa. "Sorry nggak ngabarin."
"Emang ada apaan di Jakarta sampai bolos sekolah?"
"Setiap tanggal ini, gue emang selalu ke Jakarta. Ketemu adik gue."
"Oh... lo punya adik di Jakarta, ya?"
Dewa mengangguk. Matanya masih menatap langit-langit teras. "Namanya Dewi. Almarhumah Dewi Shinta."
Sontak Maura terdiam. Dari samping dia menatap wajah Dewa yang tersenyum saat menyebutkan nama itu. Ada perasaan sedih yang ikut menyelimuti hati Maura. Apa lagi yang belum dia ketahui tentang Dewa? Rasanya terlalu banyak rahasia yang dimiliki Dewa. Yang ia tutup dengan senyuman dan keceriaan.
Membuat siapapun tidak menyangka, ada begitu banyak kesedihan yang disembunyikannya.
"Sakit?" Maura bertanya dengan nada segan.
Masih dengan senyumnya, Dewa menggeleng. "Tepat di tanggal ini, lima tahun lalu, bunuh diri."
Maura langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Saking terkejutnya. Lima tahun yang lalu artinya saat usianya dan Dewa masih sekitar 12 tahun. Lalu berapa usia adik Dewa? Di usia yang masih dini itu, bagaimana bisa seorang anak memutuskan untuk bunuh diri?
"Dia masih kelas lima SD, waktu orangtua kita hampir cerai. Waktu bokap gue pertama kalinya selingkuh. Keadaan rumah bener-bener hancur. Mungkin kalau dulu gue nggak kuat, gue bakal ngelakuin hal yang sama."
"Don't you dare!" Maura reflek berseru.
Dewa sekilas terkekeh. "Gue nggak selemah itu."
Maura mengembuskan napasnya lega. Padahal yang sedang dibicarakan oleh Dewa adalah 'dulu' bukan 'sekarang'.
"Di rumah Omah, di Jakarta, dia mutusin urat nadinya pakai cutter. Ternyata dia begitu karna di sekolah ada temennya yang ngebocorin masalah keluarga kita sampai dia diejek semua temennya." Dewa tersenyum lagi. "Gue masih inget sebelum kejadian itu, dia nyoret-nyoret foto keluarga yang dipajang di ruang tamu. Di situ dia juga tulis 'kenapa aku lahir di sini?' yang bikin gue nangis sambil peluk dia. Itu terkakhir kalinya gue peluk dia."
"Dewa...." lirih Maura, dengan mata berkaca-kaca.
Dewa belum mau menoleh. "Korban keegoisan orangtua bisa separah itu ya akibatnya? Sampai sekarang gue masih nggak paham, siapa yang benar dan siapa yang salah. Mereka bilang mereka juga butuh kebahagiaan, yang udah nggak bisa didapetin lagi dari pasangannya. Tapi, kita, anak-anak juga ingin bahagia, bersama orangtua yang utuh. Jadi siapa di sini yang egois? Orangtua yang butuh kebahagiaan atau anak-anak yang ingin bahagia?"
Maura sukses meneteskan airmatanya. Dia menggenggam tangan Dewa erat-erat. Membuat Dewa akhirnya menoleh sambil tersenyum. Padahal jelas sekali di mata itu, Maura bisa melihat kepedihan yang luar biasa dalam.
"Wa, tahun depan gue ikut lo kalau ke Jakarta lagi."
Dewa semakin tersenyum lebar. Tangannya yang tidak digenggam Maura bergerak menepuk kepala Maura. "Adik gue pasti seneng banget ketemu lo."
"Apapun, ceritain aja semuanya sama gue, Wa. Gue akan selalu pasang telinga buat mendengarkan semuanya dan nutup mulut untuk menceritakan lagi semuanya."
Dewa mengangguk. "Gue percaya sama temen gue yang satu ini kok."
Saat Dewa masih menepuk-nepuk kepalanya, ponsel Maura tiba-tiba bergetar di saku seragamnya. Maura pun segera menghapus airmatanya dan melepas genggaman tangannya pada Dewa. Di layarnya, muncul nama penelepon.
Dewa yang penasaran langsung bertanya. "Siapa?"
"Pak Galih."
***
<< Inesia Pratiwi >>
(re-publish 11/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kedelapan!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)