Hello, Memory Ketujuh!

Start from the beginning
                                        

Salah satu temannya yang bernama Aldo pun lalu memukul perut Dewa menggunakan sepasang sepatu yang sengaja mereka persiapkan jika Dewa melancarkan trik tipuannya ini. "Udah ketebak trik lo. Nih ada sepatu, pake. Ayo, latihan."

Dan kali ini, dengan perasaan hati yang sedang dalam keadaan kurang baik, Dewa pun terpaksa ikut bersama teman-temannya. Padahal niat awalnya tadi ingin mengikuti Maura dan Nando diam-diam.

Namun mau bagaimana lagi. Seberapa banyak alasan yang Dewa keluarkan pun tetap tidak akan bisa membuat teman-temannya berhenti menyeretnya ke lapangan.

Yah, mungkin setidaknya nanti dia bisa membayangkan bola yang ditendangnya itu adalah wajah Nando.

Gila, kenapa gue jadi posesif gini?

***

Sedikit canggung, Nando mengikuti Maura masuk ke rumahnya yang mengingatkan seperti rumahnya dulu. Besar, asri dan halaman depannya luas. Sayangnya ketika ayahnya tertangkap tangan, semua yang mereka miliki harus disita. Lalu tak lama setelahnya, ayah Nando meninggal karena serangan jantung.

Sejak saat itu, semua tak lagi sama seperti dulu.

Nando berubah menjadi anak yang pendiam, menjauh dari teman-temannya, dan lebih memokuskan diri dengan belajar. Agar hidupnya dengan ibu dan adik-adiknya tidak susah seperti ini lagi.

Dan ketika dia berubah menjadi pendiam dan cenderung menjadi kutu buku yang culun seperti ini, orang-orang yang dicintainya pun ikut pergi. Seolah mereka hanya mau dekat ketika Nando berpenampilan menarik dan memiliki segalanya.

Saat itu hanya Dewa yang bersedia menawarkannya untuk mengantar pulang saat kabar tentang kematian ayahnya disampaikan oleh salah satu guru. Padahal hubungannya dengan Dewa tidak terlalu dekat.

"Santai aja, nyokap bokap gue masih kerja kok." Maura membuka pintu rumahnya sambil mengucap salam. Membuyarkan lamunan Nando.

"Duduk dulu aja, gue mau ganti baju," kata Maura lagi sambil berjalan menuju kamarnya.

Setelah Maura meninggalkannya, Nando duduk di sofa ruang tamu sambil melihat-lihat isi rumah Maura. Beberapa foto Maura dan kedua orangtuanya terpajang di dinding berwarna krem itu. Nando pun langsung menyimpulkan bahwa Maura adalah anak satu-satunya di keluarga ini.

Beberapa piala juga terpajang di meja dekat pintu masuk. Sesaat sebelum duduk tadi, Nando sempat membaca salah satu piala itu bertuliskan Juara II Olimpiade Biologi.

Tak lama kemudian Maura kembali datang dengan pakaian rumahnya dan segelas sirup rasa jeruk untuk Nando. "Minum dulu, santai aja nggak usah canggung gitu."

"Nggak apa-apa kita cuma berdua gini?"

Maura tertawa seraya mengambil bantal sofa dan ia letakkan di atas pahanya. "Dewa juga sering ke sini kok, nggak pernah tuh di gerebek warga. Lagian juga di dalem ada Bi Kokom kok."

"Oh." Nando mengangguk-angguk. "Lo sering ikut olimpiade?"

Menyadari pertanyaan itu Maura langsung melirik piala-piala yang sengaja dipajang Papanya itu lalu tersenyum. "Iya itu dulu. Sekarang mah mungkin nggak bakal kepilih lagi. Anak sekolah kita kan pinter-pinter, euy."

Gantian Nando yang tersenyum. Membuat Maura seperti terpaku hingga tak mampu bergerak dan waktunya seakan berhenti. "Nggak ada orang pinter. Yang ada cuma orang rajin."

Perasaan aneh. Hanya dengan senyum dan kalimat sederhana itu mampu membuat perasaan aneh muncul di hati Maura.

Ah, anggap saja ini hanya perasaan kagum.

Maura pun mencoba mengenyahkan perasaan itu dan kembali bersikap normal. "Mau lihat-lihat bukunya sekarang?" tawarnya pada Nando yang baru selesai meneguk minumnya.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now