Part 6 : About Al

2.2K 271 10
                                    

Al Ghazali Kohler. Nama yang diberikan Ayah padaku saat aku baru lahir ke dunia.
Kohler sendiri adalah marga dari kakek Ayah yang berkewarganegaraan Jerman.

Aku lahir di Jakarta, namun tinggal dan dibesarkan di Surabaya, tempat yang sama di mana Ayahku dilahirkan.
Kami tinggal bertiga, Aku, Ayah dan Bunda.

Sepuluh tahun kami bersama, dalam kebahagiaan, keharmonisan dan kehangatan keluarga.

Namun semua berakhir. Hari itu. Hari di mana keluarga kami tidak lagi bersatu.
Ayah dan Bunda memutuskan untuk berpisah, di usiaku yang masih sangat muda. Di usia yang masih sangat kecil untuk mengerti apa itu perceraian. Di usia yang seharusnya mendapat segala perhatian mereka.
Tapi itu semua tidak juga menjadi alasan untuk Ayah batal  menceraikan Bunda.
Ayah tetap pada pendiriannya.
Cerai.

" Bunda kamu itu lebih memilih kerja daripada ngurus kamu "

Kata-kata itu terus dilontarkan Ayah saat Bunda tidak berada di sisi kami.
Kata-kata yang semula membuat aku membenci sosok ibu kandungku.

Aku ingat kejadian malam itu.  Malam di mana Ayah dan Bunda benar-benar berpisah.

Ayah beberapa kali melontarkan kata-kata kasar pada Bunda di depanku, namun dengan lembut Bunda memintaku untuk masuk ke dalam kamar.
Aku menurut, namun terdengar sayup-sayup makian Ayah ditujukan untuk Bunda saat aku sudah berada di dalam.

Aku takut, lantas aku menangis di balik pintu dengan terduduk sambil melipat lututku di depan muka yang tertunduk dan menempelkan kedua tanganku pada telinga.  Aku membenci suara-suara keras, aku benci makian, aku benci saat mereka berteriak satu sama lain.
Aku bahkan tidak lagi mengenal sosok Ayah yang biasanya bersikap penuh kasih sayang pada Bunda.

Lelah dengan tangisan, aku tertidur.
Saat aku bangun, aku baru menyadari bahwa posisiku masih seperti semalam , tidak berubah.

Di pagi buta yang aku lihat saat aku keluar kamar hanya barang-barang yang berserakan tidak pada tempatnya.
Para pekerja di rumah kami tengah sibuk membereskan benda-benda yang sebagian sudah berubah bentuk menjadi puing-puing. Bisa disimpulkan jika semalam bukan pertengkaran biasa. Ini adalah pertengkaran terparah yang terjadi selama aku menyaksikan keributan mereka.

Dan di sana, aku melihat Bunda menyeret koper dengan kesal.
Bunda memakai kacamata hitam, kacamata yang tidak pernah ia pakai sebelumnya.

" Sayang, kamu ikut Bunda ya! "
Aku terdiam, masih mencerna dengan baik maksud dari kata-kata itu.

" Al, ayo siap-siap! "
Bunda menyeretku masuk kekamar, dan mengambil koper yang tersimpan di dalam lemari lalu mengeluarkan beberapa pasang bajuku untuk dimasukkan ke dalamnya.

Beberapa saat aku terdiam, namun aktifitas Bunda berhenti saat aku menyentuh tangannya yang hendak kembali memasukkan pakaianku ke dalam koper.

" Kita mau kemana Bun? " aku memberanikan diri untuk bertanya.

" Kita akan pergi di mana seharusnya kita tinggal sayang, jauh dari kebohongan, dan orang-orang munafik. Kita akan memulai hidup baru. Hanya berdua, kamu dan Bunda " jlasnya, aku menggeleng,  " Nggak Bun, aku nggak mau ninggalin Ayah sendirian disini " tolakku.
" Sayang, ayah kamu nggak sendirian. Kamu ikut Bunda ya? " bujuknya lagi, namun aku tetap pada pendirianku.
Mana mungkin aku meninggalkan ayah sendirian di sini. Aku tahu jika ayah tidak bisa hidup sendiri.

Bunda tetap berusaha membujukku, namun semua berhenti saat suara berat Ayahku menggema.

" Al tidak akan pergi kemanapun. Kalau kamu mau pergi, silakan pergi. Jangan ajak anakku "

Kami menoleh ke arah suara itu, dan Ayah berdiri di sana, di depan pintu kamarku.

" Anakmu?  Kamu lupa kalo Al juga darah dagingku? Aku berhak bawa dia pergi karena aku ibu kandungnya. "

" Aku juga ayah kandungnya "

"Tapi aku yg melahirkannya "

Aku menoleh pada mereka berdua secara bergantian, debat mereka sungguh membuat aku kesal.

" Ayah, Bunda kenapa kalian selalu bertengkar?  Al takut melihat Ayah Bunda seperti ini. "
Aku meneteskan air mata ketakutan, aku benci di posisi seperti ini,

" Sayang, maafin Bunda. Kamu jangan nangis ya?  Kita hanya perlu bersiap-siap. Dan Bunda jamin semua akan baik-baik aja setelah ini " Bunda meraihku dalam dekapannya dan mengelus rambutku dengan lembut.

" Al akan tetap tinggal di sini bersamaku. Kamu silakan pergi dan aku akan mengirim surat perceraian kita "
Ayahku kembali berkata, namun Bunda segera menjawabnya dengan penolakan keras,

" Tidak, Al akan ikut bersamaku "

"Ayah,  Bunda stop. Bun aku nggak mau ninggalin Ayah. Al juga nggak maksa Bunda buat tetap di sini " putusku

" Kamu dengar itu?  "

" Tapi sayang, Bunda nggak bisa ninggalin kamu sendirian! "

" Maka dari itu, tetap lah tinggal di sini Bunda "

Bunda menggeleng keras, ia meneteskan airmata dan menoleh kearah Ayah dengan amarah. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, yang aku tahu akhir-akhir ini Bunda jarang bersama kami.
Oleh karena itu Ayah selalu berkata bahwa Bunda sibuk dengan dunianya sendiri dan melupakanku.
Aku percaya pada Ayah, namun aku juga tidak sepenuhnya mempercayai jika Bunda benar-benar lebih mementingkan urusannya daripada aku.

" Nggak sayang, Bunda akan tetap pergi. Bunda janji akan jemput kamu "

Setelah mengatakan itu,Bunda kembali menyeret kopernya dan keluar dari rumah kami meninggalkan aku yang masih teridam tidak percaya jika ia lebih memilih pergi.

" Kamu lihat?   Bunda kamu emang nggak pernah sayang sama kamu ".

Ayah berlalu begitu saja.

[•••]

" Ayah, dia siapa? "
Aku bertanya saat Ayah menggendong seorang bayi perempuan yang kuperkirakan usianya lebih dari setahun.

" Al, ini Sofia. Adik kamu "
Jelas Ayah yang membuat aku terkejut, sejak kapan Bunda hamil lagi?

"Kapan Bunda hamil yah?  Kok udah gede anaknya? " tanyaku polos.

" Umm,,,  nanti kamu tahu sendiri. Yang penting kamu  nggak kesepian lagi. Akan ada yang nemenin kita sekarang, "

Saat itu aku tidak tahu jika ternyata anak yang dibawa Ayah ke rumah kami adalah anak dari tante Sari, sahabat Bunda yang dulu sering Bunda ajak main ke rumah.

Yang aku tahu, Ayah membawa mereka berdua dengan alasan agar aku tidak kesepian.
Namun,  lambat laun dengan bertembahnya usiaku, aku mulai mengerti,aku baru sadar jika semua yang Ayah katakan adalah kebohongan.
Ayah telah mengelabuiku, semua yang Ayah katakan tentang Bunda adalah palsu.
Bunda tidak melakukan apa yang Ayah tuduhkan padanya.
Kebenarannya adalah Sofia adalah anak dari Ayah dan tante Sari.  Ayah berselingkuh,
Dan mulai saat itu, aku berubah.
Aku kecewa pada Ayah, sangat.

Aku tidak pernah lagi bertemu Bunda, aku frustrasi.
Dan itu membuatku menjadi siswa bandel, sering bolos sekolah,  bertindak semauku, dan mengenal dunia malam.
Perhatian Ayah sudah terbagi saat tante Sari dan Sofia datang ke dalam keluarga kami.

Ayah sering dipanggil oleh pihak sekolah akibat kenakalan yang aku lakukan,  lalu setelah itu,  Ayah akan menghukumku saat di rumah.
Mengurungku di kamar, menarik fasilitas-fasilitas yang biasa kugunakan sampai menyita Gadget yang biasa aku pakai agar aku berhenti bertindak nakal. Tapi itu semua sia-sia. Bahkan aku bertambah nakal dan membuat Ayah benar-benar kualahan mengahadapiku.

Aku hanya membutuhkan perhatiannya, persetan dengan semua yang aku dapatkan jika Ayah tak punya sedikitpun waktunya untukku. Dia bahkan lebih sering mengajak kedua wanita itu pergi bersamanya. Tanpa aku.
Itu membuatku semakin iri.

Aku butuh Bunda, bagaimanapun caranya aku harus menemukan Bunda.

Tbc

Pacar sewaan? (✔)Where stories live. Discover now