Hello, Memory Keenam!

Start from the beginning
                                        

Pacar macam apa aku? batin Luna sedih.

"Maafin aku, Wa. Aku yang egois," ucap Luna tulus.

Dewa menangkup wajah Luna dan mengangkatnya. Rasa bersalah itu semakin menggantung di kepalanya saat melihat wajah Luna yang basah dan merah. Bahkan saat dirinya sudah menyakiti Luna dengan ucapannya ini, Luna justru yang meminta maaf padanya. Bahkan ketika dirinya yang mencoba memutuskan hubungan ini, Luna masih tetap tulus mau mengakui kesalahannya.

Di mana lagi menemukan malaikat cantik yang sebaik ini? Dan Dewa justru membuangnya.

"Aku yang salah, Lun. Aku yang nggak bisa menjaga hati. Aku kehilangan kenyamanan dari kamu kamu dan malah menemukannya di orang lain. Aku yang brengsek, Lun."

Sambil terisak Luna menggeleng. "Kalau aku bisa ngasih perhatian dan kenyamanan itu ke kamu, kamu nggak akan mungkin mendapatkannya dari orang lain. Dan aku juga sadar, semuanya nggak bisa dipaksakan sesuai kehendak kita. Kamu tetap yang paling hebat di mata aku, karena kamu berani jujur, bukannya malah selingkuh di belakang aku."

"Luna... kamu bikin aku jadi terlihat makin brengsek."

"Kamu nggak brengsek, Wa. Ini bukan salah kamu sepenuhnya. Menjalin hubungan itu tentang dua orang. Dua pihak yang terlibat, bukan hanya satu. Kalau salah satunya membuat kesalahan, udah pasti itu akibat dari kesalahan pihak satunya lagi. Nggak ada asap kalau nggak ada api. Dan aku sadar, kesalahan kamu ini semuanya bermula dari kesalahan aku."

Dewa tidak tahan lagi untuk tidak memeluk Luna. Hatinya memang selalu tidak pernah salah memilih, pernah menjadikan Luna tempatnya menitipkan hati. Begitu pula saat ini, Dewa yakin kalau hatinya juga tidak lagi salah memilih, telah jatuh hati kepada gadis lain yang mampu menyediakan kenyamanan baru untuknya.

"Kamu yang terbaik, Lun," bisik Dewa. Luna hanya mampu tersenyum sendu di bahu Dewa.

"Emangnya dia siapa, Wa? Nggak lebih cantik dari aku, kan?" tanya Luna di dalam dekapan Dewa.

Dewa terkekeh pelan sambil membelai rambut Luna. "Namanya Maura, kalian sama cantiknya. Bikin aku bingung pilih yang mana."

"Maura?" Luna mengangkat kepalanya, menghapus sisa-sisa airmatanya. Tangannya masih melingkar di pinggang Dewa. "Maura yang kata kamu anak presiden itu?"

"Kata kamu SBY nggak punya anak cewek?" goda Dewa. Luna memutar matanya, di saat-saat seperti ini pun Dewa masih bisa membuatnya tak tahan untuk tidak tersenyum. Bagaimana bisa dia menghapus cintanya untuk cowok seperti ini?

"Iya, Maura yang itu," kata Dewa lagi.

"Hmm, aku bakal berdoa supaya dia nggak punya perasaan yang sama juga kayak kamu," ucap Luna setengah bercanda setengah serius.

Sedangkan Dewa hanya tertawa dan memeluk Luna lagi untuk yang terakhir kali. Melepaskan bunga terbaiknya demi meraih bunga yang belum tentu akan tumbuh subur.

Tetapi, cinta memang selalu siap mengambil resiko, kan?

"Nggak ada yang berubah antara kita kan, Wa? Aku bisa tetep deket sama kamu, kan?"

Dewa mengangguk. "Yang berubah cuma status."

"Kalau nanti kamu mau kembali, aku masih selalu nunggu, Wa."

***

--Izinkan aku pergi dulu. Yang berubah hanya tak lagi ku milikmu. Kau masih bisa melihatku, kau harus percaya ku tetap teman baikmu.-- (Pamit, Tulus)

***

Sedih nggak sih jadi Luna? Hmm... tapi terkadang berani jujur memang jauh lebih baik daripada tetap bersama tapi saling menyakiti. Right? :p

<<Inesia Pratiwi>>
(re-publish 8/9/17)

<<Inesia Pratiwi>>(re-publish 8/9/17)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

||| Luna |||

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now