Hello, Memory Keenam!

Start from the beginning
                                        

Maura masih diam. Lagi-lagi dia dikejutkan dengan kenyataan tentang keluarga Dewa, setelah sebelumnya dikejutkan dengan keluarga Nando. Ini benar-benar mengajarkannya bahwa hidupnya yang semula dia pikir miris karena dia hanyalah seorang anak pungut ternyata masih jauh lebih baik daripada hidup Nando dan Dewa.

Ini mengajarkannya bahwa jangan pernah berhenti bersyukur. Selalu lihatlah ke bawah, karena tanah jauh lebih dekat dengan kita daripada langit. Tidak akan ada habisnya jika selalu melihat ke atas.

Dibalik sikap humoris Dewa, ternyata cowok itu menyimpan luka besar di hatinya, masalah besar di keluarganya yang tak seorangpun tahu. Mungkin ada banyak cara orang-orang menutupi masalah mereka. Nando yang menutupi dengan kediamannya, dan Dewa yang menutupi dengan kekonyolan tingkahnya.

"Gue jadi malu, Ra, nyeritain ini sama lo." Dewa tertawa kecil.

Maura menggeleng-geleng. "Kayak yang lo pernah bilang, Wa, bumi kan bulat, hidup kayak roda. Semua orang pasti pernah ngalamin suatu kejadian yang menghancurkan mereka. Gue juga sama kok. Kalau lo mikir keluarga gue sempurna dan harmonis, lo nggak tahu kan kalau gue sebenernya cuma anak pungut?"

"Ra?" Dewa menatap Maura kaget.

Maura mengangguk-angguk. "Gue bukan anak kandung di keluarga ini, Wa. Gue dari panti asuhan, gue dibuang sama orangtua kandung gue," jelas Maura sambil tersenyum. "Hidup emang selalu gini, kan, Wa?"

"Hmm." Dewa mengangguk-angguk. "Semua orang pasti pernah ngalamin suatu kejadian yang menghancurkan mereka," ucap Dewa mengulang perkataan Maura.

           

"Jadi, nggak usah malu buat menceritakan keburukan lo. Karena semua orang juga punya sisi buruk. Semua orang juga pernah merasakan berada di posisi terburuk. Yang kita lakukan cukup bertahan dan bersyukur."

Dewa terkesima. Terpesona pada sosok di hadapannya. Sosok yang selalu tersenyum dan semangat namun ternyata juga menyimpan kisah keluarga tragis sama sepertinya.

Sosok yang malam ini baru disadarinya telah menumbuhkan sesuatu dalam hatinya.

***

Setiap hari, setiap pulang sekolah Dewa selalu bersama Maura. Entah itu pergi jalan-jalan bersama, menghabiskan uang saku mereka di area TimeZone, atau belajar bersama dan mengobrol di rumah Maura. Semakin lama, mereka semakin dekat. Setiap ada Maura, di situ ada Dewa yang selalu mengikutinya.

Mungkin bagi seorang Maura yang hatinya tidak terlalu peka dengan cinta, hanya menganggap Dewa sebagai seorang sahabat. Tidak lebih. Tetapi bagi seorang Dewa, yang merasa mendapatkan kenyamanan baru dari keadaan rumahnya yang berantakan juga kekasihnya yang selalu sibuk, mulai memiliki perasaan lain kepada Maura.

Entah itu cinta atau hanya sebuah rasa nyaman.

"Wa, nilai matematika lo UTS kemarin berapa?"

Sambil mengunyah mie ayam miliknya, Dewa menjawab, "98."

"Kimia?"

"94."

"Fisika?"

"96."

Maura menggigit sumpitnya gemas. "Kok elo bisa, sih, almost perfect begitu? Padahal kelihatannya lo nggak sering belajar. Heran gue."

"Belajar kan nggak harus lama, Ra. Yang penting sebentar tapi serius dan rutin."

Maura menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Lo emang the best!"

Dewa tersenyum lebar. "Cita-cita gue dari dulu pengin jadi guru SD, Ra. Setiap hari ketemu anak-anak lucu yang lagi semangat-semangatnya belajar. Gue pengin bisa ngajarin anak-anak itu jadi sepintar kita. Karena pembentukan sejak dini itu jauh lebih baik."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now