Hello, Memory Kelima!

Start from the beginning
                                        

Sontak Maura tertawa mendengar penuturan penuh percaya diri itu. "Gue jadi mikir, jangan-jangan lo pasien rumah sakit jiwa yang kabur ya?"

Dewa menyandarkan tubuh sebelah kirinya ke tembok. Tangannya kembali menyilang di depan dada. "Emang kalau yang bisa bikin orang ketawa cuma orang gila doang ya?"

"Nggak juga, sih. Gue malah takut sama orang gila."

"Nah, berarti gue orang waras, dong. Buktinya gue bikin lo ketawa mulu. Nggak bikin lo takut."

"Iya, deh, iyaaaaa." Maura menyerah. Kalau dilanjutkan lama-lama dia bisa ikutan jadi orang setengah waras juga kayak Dewa. "Oke, gue bakal ke sini tiap kali butuh kenyamanan. Tapi kalau pas elo nya nggak ada, gimana?"

Dewa menatap Maura dalam-dalam. Sempat membuat Maura terpaku beberapa detik. "Lo boleh cari kenyamanan yang lain," ucap Dewa seolah penuh makna lain. Tangannya lalu merogoh saku celananya sebentar dan menyodorkan selembar permen karet berbungkus warna hijau ke depan Maura. "Cobain deh kunyah ini sambil merem, nyaman."

"Thanks," balas Maura sambil mengambil selembar permen karet itu dan memasukkan ke saku seragamnya. "Gue ke kelas duluan deh, ya," ucapnya lagi.

Dewa mengangguk mengiyakan. "Udah dapet temen? Nanti istirahat gue tunggu di sini ya, jangan cuma tiduran di kelas aja. Makanan di kantin enak-enak, lho."

Sambil terkekeh Maura mengacungkan ibu jarinya kemudian berlalu dari hadapan Dewa menuju kelasnya. Dan tatapan Dewa juga belum terlepas darinya hingga tubuhnya benar-benar menghilang di balik pintu kelas.

"Siapa, Ay?"

Dewa mengalihkan pandangannya pada sosok cantik yang datang dari arah berlawanan dengan Maura, sedang berjalan menuju ke arahnya. "Namanya Maura," jawab Dewa sambil tersenyum. "Jangan macem-macem ya, anaknya presiden tuh."

"Ngarang aja kamu! SBY nggak punya anak cewek."

"Lho, masa sih? Trus dia anak siapa dong?"

"Udah, diem! Bantuin aku ngerjain tugas ekonomi aja, yuk."

"Siap, Sayang!"

***

Tepat setelah bel istirahat berbunyi, Nando bangkit dari kursinya dan berjalan menuju papan tulis. Di sana dia menuliskan nama-nama kelompok untuk tugas bahasa Inggris dari Pak Galih. Maura yang masih duduk di bangkunya ketika Nando selesai menuliskan nama-nama kelompok itu segera menghadang Nando dengan pertanyaan begitu cowok itu kembali ke kursinya.

"Gue satu kelompok sama lo, ya?" tanya Maura pada Nando.

Nando hanya membalasnya dengan anggukan dan kembali membuka buku tebal favoritnya.

"Materinya apa?"

Nando hanya mengangkat bahunya dan lagi-lagi menenggelamkan dirinya ke bacaan di buku tebalnya.

"Nomor kelompok itu sesuai sama nomor urut maju presentasinya?"

Kembali Nando mengangkat bahunya.

"Bisa pindah kelompok aja nggak sih?" Kali ini Maura bertanya penuh dengan nada malas. Sedari tadi dia merasa seperti tengah berbicara dengan gedebong pisang. Bicara sendirian.

Dan dengan kakunya, tanpa rasa bersalah, Nando kembali menggeleng. Membuat Maura mendesah panjang lalu bangun dari kursinya dan keluar kelas.

Mending ke kantin sama Dewa aja daritadi, batinnya.

Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, orang yang barusan diucapkan di batinnya kini sudah menjulang di depan pintu kelasnya. Hampir-hampir membuat Maura terhuyung karena langkahnya yang terpaksa harus direm mendadak.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now