Part 11-Terimakasih Asma!

Start from the beginning
                                    

"Ya sudah Bi, ini juga sudah mulai normal nafasnya. Bibi tidur saja, sudah malam banget ini," kataku kemudian dibalas anggukan Bi Inah.

Bi Inah bergegas menuju kamarnya. Aku sungguh bersyukur memiliki Bi Inah!

Aku memeriksa detak jantung Radit kemudian menghitung detaknya. Dia memegangi ventolinnya dan menatapku dalam diam.

"Jangan lihat saya begitu Dit," kataku pelan.

"Maaf Sya sudah ganggu tidurmu," kata-kata Radit lebih terdengar sebagai bisikan.

"Saya belum tidur kok. Ini minum dulu," balasku sambil meraih teh panas di meja dan memberikannya pada Radit.

Radit meminumnya perlahan kemudian memberikannya lagi padaku.

"Makasih ya Sya, udah mendingan kok nggak sesak lagi," kata Radit pelan sambil mengerjapkan matanya.

Kulihat dia susah payah menarik nafas dan menghembuskannya. Ah, sungguh kasian sekali.

"Kamu jangan capek-capek Dit, dikurangi pulang malamnya, juga jangan banyak pikiran," kataku pelan sambil menatap Radit.

"Gimana bisa saya nggak banyak pikiran Sya, sejak tadi di kepala saya hanya ada kalimatmu," balas Radit yang membuat aku tertegun.

Aku menghela nafas panjang.

Radit's POV

"Gimana bisa saya nggak banyak pikiran Sya, sejak tadi di kepala saya hanya ada kalimatmu," kata-kata itu meluncur deras dari mulutku.

Memang benar, aku memikirkan kalimat yang Rasya ucapkan ketika kami  berada di depan rumah. Aku sungguh tak pernah berniat jahat padanya, apalagi mempermainkan seperti yang dia katakan.

Aku merasakan kepalaku kembali berdenyut, kemudian nafasku semakin memendek dan mengeluarkan bunyi. Terakhir aku kambuh sekitar beberapa tahun yang lalu, setelah itu aku sama sekali tidak pernah merasakannya lagi.

Aku sungguh bersyukur Rasya masih berbaik hati mau menolong dan memeriksaku. Ah, tapi itukan memang ada di dalam sumpah dokternya dulu.

Rasya menghela nafas berat. Dia tetap diam.

"Perempuan itu Risa namanya Sya, saya dengan dia sudah berpacaran empat tahun dulu. Saya minta maaf malam kemarin buru-buru pergi. Saya langsung ke rumah sakit waktu temannya telepon saya kemarin. Maaf juga saya sudah melakukan sesuatu yang harusnya nggak saya lakukan. Dan lagi, saya nggak pernah berniat memainkan kamu, maaf ya Sya," kataku lagi sambil berusaha menatap Rasya, walau rasanya dadaku masih sulit menghirup nafas.

"Iya Dit, nggak usah kamu pikirkan lagi. Saya minta maaf juga sudah marah sama kamu, saya tahu seharusnya bukan itu yang saya lakukan. Tapi, kalau kamu mau cium dia, jangan waktu ada saya," Rasya balas menatapku.

Aku menatapnya terkejut.

"Saya nggak akan pernah cium perempuan lagi selain kamu," kataku akhirnya, membuat muka Rasya sedikit memerah.

"Dan yang saya katakan waktu kita keluar dari gedung itu, tolong lupakan ya Sya," tambahku. Susah payah aku berusaha mengeluarkan kata-kata ini sejak tadi.

"Yang mana? Saya nggak ingat," Rasya memicingkan matanya, jantungku berdegup kencang karenanya. Hah, apa dia sedang bercanda?

"Sya.." aku mengulum senyum tipis melihat Rasya. Dia tertawa.

"Yakin kamu?" tanyanya sambil menatapku.

"Saya yakin Sya, soalnya hanya kamu yang bisa mengobati kambuh saya secepat ini," balasku sambil tertawa kecil.

Rasya mengerucutkan bibirnya.

"Hah, jadi saya cuma dimanfaatkan begini ya Dit," kata Rasya sambil memperbaiki ikatan rambutnya, kemudian digulung ke atas.

Sungguh, sexy. Aku menelan ludahku.

"Jangan marah dong Sya, kan saya cuma bercanda," aku sedikit khawatir ketika melihat Rasya tak kunjung tertawa setelah mengucapkan kalimatnya.

"Hmmm."

Aku tersenyum melihatnya.

Rasya sibuk mencari obat pil yang ada di kotak yang diambilnya dari meja nakas beberapa menit lalu. Kulihat dia menguap beberapa kali.

"Udah Sya, tidur aja. Pake ventolin aja bisa kok, obatnya besok aja," kataku pelan.

"Obatnya harus diminum sekarang Dit. Kamu inget nggak ditaruh dimana? Kok di sini nggak ada sih," balasnya sambil menguap lagi.

"Hey Sya," kataku memegang tangannya lembut, Rasya berhenti membongkar kotak obatku kemudian menatapku. Deg! Sungguh cantik.

"Sekarang udah jam dua malam, kamu tidur sana, besok shift pagikan?" tanyaku pelan.

"I..iya," jawabnya terbata, mungkin masih terkejut karena kupegang tangannya. Aku tertawa dalam hatiku.

"Ah kamu dipegang gitu aja langsung terbata-bata," kataku menggodanya.

Tunggu, sejak kapan aku jadi senang melakukan hal seperti ini pada Rasya?

"Dit! Kamu itu ya bener-bener, ah saya nyesel nggak ngelanjutin tidur tadi. Nih cari sendiri," katanya sambil menyerahkan kotakku dan bergegas pergi menuju kamar. Aku tertawa sendiri setelah itu.

Kulihat Rasya berjalan cepat menuju kamar. Beberapa saat setelah itu dia keluar sambil membawa ponselnya. Aku menatapnya dari sofa.

"Dit, kamu tidur di kamar ya mulai sekarang. Sofa itu nggak dianjurkan untuk jadi tempat tidur. Saya tidur di kamar tamu," katanya sambil menatapku kemudian bergegas menuju kamar tamu.

"Nggak bareng aja Sya?" tanyaku pelan. Aku sendiri tak paham mengapa aku menanyakan hal semacam ini.

"Kalo kamu kambuh lagi, kamu bisa teriak kok, saya langsung datang," jawabnya sambil cemberut.

Hah? Apa Rasya sepolos dan sebodoh itu? Ah, sudah pernah kubilang, Rasya-kan dokter, tidak mungkin bodoh. Apa dia tak paham maksudku?

"Hah? Parah kamu Sya," kataku setelah itu. Rasya masuk ke dalam kamar tamu, aku hanya menatapnya dari jauh.

Beberapa saat kemudian aku berjalan menuju kamar tamu, kubuka pintunya, ah, sungguh pintar Rasya. Dia mengunci kamar itu dari dalam. Aku menggigit bibir bawahku dan tertawa kecil, malam ini sungguh menyenangkan rasanya.

Update done deh hehe

Selesai juga sampe part 11

Habis ini rada males gimana gitu ngelanjutin, idenya menguap hikshiks

Terimakasih sudah baca, bonusin vote boleh dong:p

Marriage With(out) LoveWhere stories live. Discover now