Part 15-Is that Love?

41.8K 1.4K 17
                                    

Rasya's POV

Aku mengerjapkan mataku perlahan dan melihat sekeliling, aku dan Radit sudah berada di ruang rawat inap. Kulihat Radit masih terpejam, alat bantu pernafasan masih terpasang di hidungnya, tangannya dipasang infus. Beberapa menit aku menatapnya dalam diam. Sungguh sedih rasanya melihat Radit dalam kondisi seperti ini.

Tadi malam, saat Radit dipindahkan dari UGD ke kamar ini, dia tidak berhenti menggenggam tanganku. Aku sendiri tak paham mengapa dia melakukan itu, aku juga tak paham mengapa aku begitu takut kehilangan dia. Kami baru menikah sebentar, tapi rasanya sudah banyak hal kulewati bersama dia. Semua rasanya sungguh menyenangkan, bagaimana jika suatu saat Radit berubah pikiran dan ingin pergi? Ah, semoga tidak. Jikalau terjadi, semoga pada saat itu aku bisa menerima dan memahami keadaannya.

Oh ya, tadi malam juga, kedua orangtua kami secepat kilat datang ke rumah sakit. Wajah mereka terlihat sungguh panik, namun berakhir dengan canda tawa ketika sudah berada di kamar ini. Hal itu karena Radit yang terus-terusan di goda dengan kalimat-kalimat semacam "Makanya kamu tuh bersyukur punya istri Rasya, udah kamu itu sering sakit, sakit ini sakit itu, untung dapet istri dokter" dan sebagainya. Papa dan Mama sibuk memujiku setinggi langit dan membuat Radit terus-terusan tersenyum masam. Hingga akhirnya Radit menyerah sambil berkata, "Yes, I'm so lucky to have her."

Saat kata-kata itu keluar dari mulut Radit, aku sungguh bahagia rasanya. Ah, bahagia sesaat.

"Sya.." Radit menggeliat pelan sambil membuka matanya. Aku beranjak dari sofa dan berjalan pelan ke arahnya.

"Gimana Dit? Bagian mana yang sakit?" tanyaku pelan sambil menatap mata Radit yang tampak lelah dan lesu.

"Sini," jawabnya sambil menyentuh dadanya pelan. Mataku membulat, apa dia sesak nafas? Tenanglah Sya. Overthinking kills your head.

"Sesak nafas?" tanyaku sepelan yang aku bisa, aku tidak boleh panik.

"Hatiku sakit lihat wajahmu yang sedih begitu sejak kemarin Sya. Tenang, sebentar lagi saya juga sembuh," jawabnya pelan membuatku mendecak sebal.

Hah, dia mulai bermain-main seperti itu lagi. Aku sungguh tak suka orang yang suka bermain dengan rasa sakit.

"Jangan suka main-main sama rasa sakit Dit," kataku pelan membuat Radit terdiam.

Aku menyesali kata-kataku karena beberapa jam kemudian hanya suara televisi yang menemani kami berdua. Harusnya aku tak mengatakannya!

Suara ponsel memecah keheningan di antara aku dan Radit, kulihat ponsel Radit yang berada di dekatku bergetar. Aku meraihnya pelan, kemudian melihat nama Risa di sana. Oh baiklah, kendalikan mulut, hati, dan jantungmu sejak sekarang Sya. Aku berjalan pelan dan menyerahkan ponsel itu pada Radit.

Radit menatapku sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Aku balas menatapnya, namun sesudah itu buru-buru kembali ke posisiku semula. Aku mengeram sebal, kenapa Radit menatapku begitu? Sudah kubilang, mata itu selalu mematikan aku.

Aku merasa mati berkali lipat karena dia juga mengangkat telepon Risa sambil tersenyum. Aku mendengus sebal, sungguh aku tak cemburu. Aku tak akan pernah cemburu.

"Sudah mendingan Ris, iya nggak papa. Iya, makasih ya. Aku nggak benar-benar ingat, jadi ada truk di depanku, sepertinya salah jalur, tapi aku nggak bisa menghindar, jadinya ketemu depan sama depan," aku mencerna dengan baik setiap balasan Radit.

Radit membumbui kalimatnya dengan selalu tersenyum setiap dia selesai berucap. Sepertinya aku baru melihat senyum itu pertama kali, dia bahkan tak pernah tersenyum begitu padaku. Aku mendecak sebal pada diriku sendiri, kenapa juga aku harus marah?

Marriage With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang