Baik suasana di dalam kelas maupun di luar kelas, semua riuh. Ada yang sibuk tawar-menawar tebengan, ada yang berteriak heboh di depan pintu kelas memanggil temannya yang berada di kelas ini, ada juga geng cowok yang langsung berkumpul di belakang kelas dan mengobrol rusuh.
"Woi, culun! Udah jadi senior masih culun aja, lo!" seru seorang cowok dari gerombolan cowok yang berkumpul di belakang kelas sambil melempar segumpal kertas ke arah Nando. Tepatnya ke arah meja karena lemparannya tidak tepat sasaran ke kepala Nando. Maura pun memutar tubuhnya ke belakang karena penasaran. Dari wajahnya, Maura tidak merasa melihatnya sejak pagi berada di kelas ini. Sepertinya cowok berambut jambul itu bukan dari kelasnya, dan mungkin dulu dia pernah satu kelas dengan Nando sebelumnya.
"Dia jadi ketua kelas lagi, coy?" cowok itu bertanya pada salah satu teman kelas Maura.
"Bukan ketua kelas, kali. Kacung!"
Tawa rusuh langsung terdengar dari mereka semua. Maura kembali berbalik sambil menggeleng-gelengkan kepala dan bangun dari kursi. Inilah yang sering Maura sebut dengan remaja kebanyakan. Suka menghina oranglain dan menganggap dirinya paling hebat. Padahal Maura yakin, kemampuan otak mereka semua tak ada setengahnya dibandingkan Nando.
"Gue duluan, ya," ucapnya pada Nando setelah berdiri dan hendak berjalan keluar kelas.
Nando hanya mengangguk dan kepalanya masih tertunduk membereskan isi tasnya.
"Eh, cewek! Yang pake jaket merah!"
Maura yang semula tengah berjalan menuju pintu kelas langsung menghentikan langkahnya dan memutar kepala ke arah gerombolan cowok teman sekelasnya. Maura merasa terpanggil karena jaket yang sedang dia kenakan berwarna merah.
"Ngomong sama gue?" tanya Maura memastikan sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya, elo." Salah satu cowok yang Maura kenali wajahnya satu kelas dengannya itu lalu menyipitkan matanya melihat badgename Maura. "Ma...u...ra, ya... Maura doang?" tanyanya kemudian.
"Maura. Nggak pake doang."
Mereka tertawa. "Oke oke Maura nggak pake doang, lo jangan tuh mau deket-deket sama si culun, nanti ketularan, lho."
"Ketularan pinter maksudnya?"
"Eh, udah cantik lucu juga, ya? Lo dari kelas berapa?"
"Sebelas satu," jawab Maura, lagi-lagi berniat mengerjai cowok-cowok usil ini.
Terbukti cowok yang tadi melempar segumpal kertas ke mejanya dan Nando langsung angkat suara dengan raut bingung. "Di sebelas satu nggak ada yang namanya Maura kayaknya deh. Secuek-cueknya gue di kelas, gue masih inget kok nama-nama temen sekelas gue."
"Wah, murid catutan ya, neng?" Yang lainnya menimpal.
"Apa anak bawang?" ceplos lagi yang lainnya.
Maura menggeleng. "Gue emang kelas sebelas satu di SMAN 3 Bandung," ucapnya sambil menahan senyum karena lagi-lagi berhasil mengerjai oranglain.
Mereka lantas kompak menyuarakan huruf 'o' panjang-panjang dengan wajah malas. "Anak pindahan, toh..." komentar salah satu dari mereka.
"Iya pantesan aja, soalnya gue nggak pernah liat ada bidadari di kelas sebelas satu."
Cowok yang sebelumnya melempar gumpalan kertas ke meja Maura dan Nando langsung menepuk kepala cowok yang duduk di sampingnya itu dengan gulungan kertas di tangannya. "Kebiasaan, nggak bisa liat yang bening dikit!"
"Ya sayang kalo dianggurin doang, coy."
"Bawaannya jadi pengin ngapelin aja, ya?" sahut temannya yang lain.
Di tempatnya Maura hanya tersenyum geli. Tak menanggapi serius ocehan-ocehan gerombolan cowok itu. "Gue balik duluan, ya!" serunya sambil berjalan kembali keluar kelas.
"Iya, hati-hati, ya, Maura!" seru mereka dengan kompak.
"Salam ya buat Mama di rumah. Titip makasih karna udah melahirkan bidadari cantik ke kelas 12 IPA 2."
"Suruh juga ntar malem Mama masak yang banyak, soalnya ada rombongan yang mau dateng ngelamar."
Maura hanya terkekeh tanpa berbalik lagi. Sejak dulu dia sudah terbiasa mengalami hal seperti ini. Bukannya mau sombong, tetapi biasanya kalau sudah seperti ini, keesokan harinya notifikasi ponselnya akan penuh dengan pesan masuk dari nomor tak dikenal. Berisi pesan-pesan tak penting menjerumus ke modus.
Tetapi meski begitu, Maura tidak pernah baper atau jadi kegeeran. Dia tetap bersikap biasa saja.
Ketika berjalan di koridor sekolah, entah kenapa secara refleks Maura menolehkan kepalanya ke jendela kelas Dewa, kelas unggulan idamannya. Matanya mencari-cari keberadaan Dewa di dalam kelas. Namun di antara murid-murid yang masih berada di dalam kelas, tak dia temui wajah Dewa di sana.
Mungkin Dewa udah pulang, batinnya.
"Hayoo... nyariin gue, ya?"
Maura mendadak berhenti dan menoleh cepat ke arah cowok yang berdiri di depannya dengan cengiran konyol khasnya. Dewa bersandar di tembok dekat pintu kelasnya bersama beberapa orang temannya.
Jaraknya dengan Dewa hanya tinggal selangkah lagi. Jika saja tadi Dewa tak bersuara, mungkin Maura sudah menabrak tubuh cowok konyol itu karena pandangannya sejak tadi hanya terfokus pada jendela kelas.
"Hmm... enggak kok, cuma liat-liat doang," bohong Maura karena malu sudah tertangkap basah tengah mencarinya. Tangannya mengusap tengkuknya yang tiba-tiba menjadi gatal.
"Oh iya, percaya aja dulu deh." Dewa mengangguk-angguk sok serius dengan tangan yang disembunyikan di kedua saku celananya. "Mau pulang, Ra?" tanyanya lagi.
"Iya, nih. Duluan, ya!" ucapnya lalu buru-buru berjalan melewati Dewa dan beberapa temannya yang juga memperhatikannya sambil senyum-senyum aneh.
"Yah, kok buru-buru banget, sih? Sini dulu, kali." Suara salah satu teman Dewa yang Maura dengar.
"Hati-hati, ya, Ra! Kalo ada belokan, belok. Kalo ada polisi tidur, bangunin aja. Kalo jatuh jangan manggil gue, nanti malah jatuh cinta." Suara milik Dewa kali ini sukses membuat langkah kakinya semakin cepat. Ditambah lagi suara tawa teman-teman cowok Dewa yang sampai dengan jelas ke telinganya. Maura pun semakin menunduk dan tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dewa emang konyol! batinnya.
Tiba-tiba di saku seragam ponselnya berbunyi dengan nama Mama di ID penelepon yang muncul. Maura mendesah pasrah. Jika biasanya di waktu pulang sekolah seperti ini Finda meneleponnya, itu artinya sore ini Maura harus pulang dengan sopir taksi.
"Iya, halo, Ma," sapa Maura sambil terus melanjutkan langkahnya ke gerbang sekolah.
Sementara Dewa, cowok itu masih berdiri di tempatnya dengan tatapan mata yang belum terlepas dari punggung Maura. Senyumnya terukir geli dengan pikiran konyol yang melintas di kepalanya.
"Itu siapa, Wa? Bening benerrrrr! Gue kayaknya baru liat, deh." Salah satu temannya bertanya sehingga tatapan Dewa kini sepenuhnya teralih dari Maura. Namun senyumnya masih belum menghilang.
"Dia ngakunya sih titisan Nyi Roro Kidul. Hati-hati, lo pada jangan berani-berani deketin dia kalau nggak mau jadi prajurit pantai selatan," jawab Dewa asal.
"Terserah hidup lo, deh, kunyuk!!"
Dewa tertawa lepas hingga sebuah tepukan di bahunya menghentikan tawanya. Ketika membalikkan tubuhnya, seorang gadis cantik tengah tersenyum ke arahnya. "Ayo pulang, Ay!" ucap gadis itu.
"Siap, Sayang!" jawab Dewa lalu menenggerkan lengannya di atas bahu gadis cantik itu dan membawanya ke parkiran.
***
Aku sukses senyum-senyum sendiri bikin karakter Dewa. I'm in love with Dewa ;))
<<Inesia Pratiwi>>
(re-publish 6/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keempat!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)