Hello, Memory Keempat!

Start from the beginning
                                        

"Dan juga karna bokap gue arsitek, gitu?" Maura memutar matanya malas.

Nando tertawa kecil. "Nggak kok..., Ma...u...ra. Maura, ya?" Sebelumnya cowok itu sempat melirik ke arah badgename di seragam Maura, lalu tangannya terulur. "Nama gue Elnando Sheriff, panggil aja Nando. Dari kelas sebelas satu," ujarnya.

Sambil tersenyum Maura menerima uluran tangannya. Dia mengangguk-angguk. "Gue panggil lo El aja boleh, nggak?"

Ekspresi Nando seketika langsung berubah kaku. Rahangnya mengeras sampai urat-urat di pipinya terlihat jelas. "Nando aja, jangan El," ucapnya dingin.

Meskipun bingung, Maura tetap mengangguk menyetujuinya. Padahal lidahnya sangat ingin memanggil Nando dengan panggilan El, namun jika sang pemilik nama tidak mengizinkan maka Maura pun tidak dapat memaksa lagi.

Mungkin nama panggilan itu memiliki kenangan buruk tersendiri. Atau mengingatkannya dengan oranglain. Maura mengangkat bahunya cuek. Kenapa juga dia harus peduli.

"Lo dari kelas berapa?" tanya Nando lagi dengan raut wajah yang sudah kembali normal.

"Sebelas satu," jawab Maura sambil tersenyum. Sengaja ingin mengerjai Nando. Dan seperti tebakannya semula, Nando langsung mengernyit bingung dengan jawabannya. Sama seperti Dewa, cowok itu pasti juga tidak menyadari kalau Maura adalah murid baru di sekolah ini.

"Masa sih? Sebelas satu nggak ada yang namanya Maura kok. Gue ketua kelasnya."

Melihat wajah kebingungan Nando tak mampu membuat Maura menahan tawa. "Bener kok. Gue dari kelas sebelas satu, tapi sebelas satu di SMAN 3 Bandung," katanya lalu tertawa kencang. Senang berhasil mengerjai Nando.

Nando yang merasa dikerjai memutar bola matanya malas. "Oh, anak baru. Pantesan aja."

"Pantesan kenapa?" Kenapa orang-orang selalu heran gitu sih pas tau aku anak baru? lanjut Maura dalam hati.

"Pantesan istirahat cuma di dalem kelas, belum punya temen kan?"

Maura meringis. "Tapi lo sekarang kan temen gue. Jadi, mau nemenin gue ke kantin nggak?" ajaknya dengan wajah sok imut.

"Gue nggak suka ke kantin," jawab Nando kaku lalu kembali membuka buku tebalnya.

"Kenapa?"

"Rame. Berisik. Kayak pasar."

Oh, iya. Maura mendesah. Dia lupa kalau sedang berbicara dengan cowok kutu buku yang pastinya tidak suka kebisingan dan lebih memilih menyendiri bersama lembaran kertas membosankan di hadapannya.

"Trus lo bawa bekal dong?"

Nando hanya mengangguk. Matanya mulai bergerak ke kanan dan kiri mengikuti arah kalimat yang dibacanya. Dia mulai tak mengacuhkan Maura lagi. Kembali menjadi anak pendiam, kaku dan dingin seperti pagi tadi.

"Lo kayak bunglon ya. Bisa berubah dalam sekejap," komentar Maura.

Namun Nando tetap saja mengabaikan keberadaan Maura, sepertinya cowok itu sudah menutup rapat pintu antara dunianya dengan dunia nyata. Membiarkan dirinya menghilang bersama duanianya dan tak membiarkan seseorangpun masuk.

Sedangkan Maura si malang yang diabaikan mulai menyumpal lubang telinganya dengan earphone yang melantunkan lagu barat populer di ponsel sederhananya. Kepalanya terlungkup di atas meja dengan mata tertutup, membayangkan rumus-rumus pelajaran demi mengasah otaknya.

***

Setelah bel pulang berbunyi, Maura segera memasukkan buku dan barang-barangnya ke dalam totebag hitam bergambar mahkota ratu besar berwarna emas. Di sebelahnya, Nando juga tengah melakukan hal yang sama.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now