Hello, Memory Keempat!

Start from the beginning
                                        

Setelah menghentikan tawanya yang sama sekali tak menular pada Nando –karna Nando hanya menatapnya datar– Maura pun kembali melanjutkan menjawab pertanyaannya setelah berdeham. "Punya bokap gue."

"Bokap lo arsitek?" tanya Nando cepat. Dia terlihat sangat antusias saat menanyakannya.

Got you! Terperangkap sudah. Maura tertawa lagi dalam hati. Akhirnya dia bisa berhasil menarik perhatian cowok culun model Nando yang biasanya pendiam dan kaku.

"Yap." Maura mengangguk-angguk sambil tersenyum bangga. Dia memang selalu bangga dengan Papanya, terlepas apapun itu pekerjaannya.

"Lo pasti mau jadi arsitek ya?" tanya Maura saat melihat kedua mata Nando berbinar-binar dibalik kacamata bingkai hitamnya ketika mendengar jawaban Maura.

"Mau banget! Gue sampai rela baca semua buku-buku ini," jawabnya sambil menunjuk bukunya yang Maura tahu dengan pasti bahwa semua isinya tertulis dengan bahasa Inggris. Sesekali Maura pernah membacanya di salah satu buku di rak buku milik Pras. Lalu tanpa terduga, Nando tertawa. Seketika, Maura terpana melihat tawa itu. "Kalau aja bisa ya, mungkin ini buku udah gue blender dan gue minum airnya biar semua isinya bisa langsung gue pahami. Atau kalau bisa ini buku setiap hari bakal gue bikin jadi bubur sarapan."

Ada sisi lain yang Maura tangkap dari Nando. Sikap yang kaku, pendiam, dingin beberapa detik yang lalu kini seolah menguap bergantikan Nando yang antusias, ceria dan penuh binar hanya karena bahasan tentang arsitek.

Tanpa sadar, Maura pun ikut tertawa. "Gue pikir lo kayak anak kutu buku biasanya, yang unsosial, pendiam dan nggak suka ketawa banyak kayak gini," ucap Maura.

Nando malah semakin tertawa dan membenarkan letak kacamatanya. "Gue memang begitu kok."

"Terus kenapa yang gue liat sekarang nggak begitu, ya?"

"Karna lo temen sebangku gue. Dan karna bokap lo arsitek." Nando menahan senyumnya saat melihat Maura memelotot.

"Wah! Berarti lo ada maunya doang, dong?"

Nando tertawa lagi dan menggeleng-geleng. "Bercanda kok." Sekali lagi dia membenarkan letak kacamatanya setelah tawanya berhenti. Nampaknya kali dia ingin berbicara serius. "Kadang kita tuh mesti punya tiga wajah yang berbeda. Wajah pertama buat orang-orang yang sekedar kita kenal. Wajah kedua buat orang-orang terdekat kita. Dan wajah ketiga adalah wajah yang cuma kita tunjukin untuk diri kita sendiri."

Bijak sekali. Super sekali. Golden ways!

Entah mengapa tiba-tiba Maura jadi langsung membandingkan Nando dengan Dewa.

Jika Dewa yang ketika pertama kali mereka berbicara Dewa nampak santai dan selalu membuat Maura tertawa dengan ucapan-ucapan konyolnya. Berbeda dengan Nando yang pembawaannya agak serius.

Maura jadi semakin senang memiliki teman-teman baru dengan karakter yang berbeda-beda. Membuatnya bisa lebih belajar lagi bagaimana menyikapi mereka semua dengan cara yang juga berbeda.

Dan ternyata, meskipun wishlistnya yang ketiga tak tercapai, Maura tak menyesal harus duduk semeja dengan Nando. Berbeda dengan dugaannya sebelumnya, duduk semeja dengan Nando tak akan membuatnya harus kehilangan alat tulis karena selalu dipinjam, tak membuat fokusnya buyar karena suara rusuh, dan tak perlu takut dicontekin. Sepertinya Nando tidak seperti cowok usil kebanyakan.

Maura pun lantas menarik bibirnya ke atas, tersenyum miring. "Berarti yang sekarang ini wajah kedua lo kan? Jadi... gue adalah orang terdekat lo, dong?"

Nando mengangkat bahu. "Ya mau nggak mau."

Maura mengernyit. "Kok gitu?"

"Karena lo teman sebangku gue."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now