31. Big News

5.5K 522 138
                                    

G W E N

"Good morning," Harry berbisik di dekat hidungku tepat setelah aku membuka mata. Ini adalah kedua kalinya. Dia adalah selamat pagi favoritku.

"Morning," aku tidak bisa menahan senyuman yang mengembang begitu saja. Mata hijaunya bersinar karena terangnya cahaya matahari yang menembus jendela hotel.

"Kau harus mandi sekarang," ia mendaratkan telunjuknya di ujung hidungku.

"Aku masih lelah."

"Aku juga," ia menyeringai dan itu membuatku kembali teringat atas semalam. "Pesawatnya berangkat tidak lama lagi. Kau mau menjenguk Steven dulu kan?"

Malas, aku hanya mengangguk.

"Get up, sugar," ia berdiri dan aku baru menyadari bahwa ia sudah siap; kemeja satin bewarna abu-abu yang ia kenakan benar-benar membuatnya terlihat seperti eksekutif.

"Okay, msg," kataku lalu bangun dan menyeret selimut untuk menutupi tubuhku ke kamar mandi. Aku bisa mendengarnya tekekeh.

***

Kakiku kembali menginjak tanah Manhattan setelah beberapa jam perjalanan udara dari Cleveland, Ohio. Pagi tadi adalah pagi terbaik dalam hidupku. Aku ingin membekukan waktu, tetapi waktu terasa lebih cepat dan hidup terus berlanjut.

Perpisahan dengan Steven berbalik jauh dengan itu; mengharukan, menyedihkan, dan sulit untuk dilakukan. Dia mengucapkan semoga beruntung pada Harry yang akan kembali ke KEH dan menggantikan Steven sebagai CEO untuk sementara. Tapi berita baiknya adalah; kondisinya dinyatakan membaik!

"So tell me," kata Harry tiba-tiba saat kami sudah mencapai Maserati-nya yang terparkir selama hampir tiga hari di Manhattan Regional Airport.

"What?" Tanyaku lalu masuk ke dalam.

"Anything. School life. Friends. Whatever." Harry menginjak gas dan mengemudi keluar.

"What do you want to know?"

"Honestly?" Senyuman mencurigakan muncul dari wajahnya.

"Em-hmm."

"Your tutor."

"Jeez!" Aku reflek berteriak ketika Gillian kembali memasuki pikranku. "He's a jerk. End of story."

"What?" Harry tersenyum bingung.

"What?"

"Kau tau. Dulu kau menggilainya dan kemarin kita..."

"What?" Aku menggodanya dengan menaikkan satu alis.

"See, i'm just confused."

"We're over. Well, my life in school is over. Everyone hates me now."

"Ada apa?"

Aku menarik napas lalu menceritakan semuanya dengan Harry. Awalnya itu agak memalukan, tetapi lama-kelaman dirinya membuatku merasa nyaman, dan mulutku bercerita dengan lancar.

Kali ini, aku tidak merasa perlu untuk menangis. Aku punya Harry. Dia selalu bisa memperbaikki keadaan.

***

How to Get 11 Out of 10 [Harry Styles]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang