Epilog

88.2K 5.6K 434
                                    

—Kira.—

Kematian Profesor West akhirnya membawa keuntungan besar untuk Digory North. Dan tentu saja, berkali-kali dia berterimakasih pada kami berempat atas apa yang telah kami lakukan. Yang terpenting, pria itu berkali-kali menawarkan tawaran yang lebih spesial lagi untuk Hana. Karena bagaimanapun, Hana lah yang berhasil membunuh profesor West.

Walaupun gue, Hana dan juga Martin terancam dipenjara dua bulan lalu karena menggunakan senjata api tanpa izin dan juga tuduhan tetek bengek lainnya, Digory North sama sekali tidak keberatan untuk menyewa pengacara super mahal dengan bayaran gila-gilaaan untuk membebaskan kami.

Mengenai tawaran Digory North untuk Hana, tidak ada yang tahu apa penawaran itu. Dan kami juga tidak tahu kenapa Hana menolak sebelum berpikir. Entah karena cewek itu bodoh atau apa, Digory North hanya tersenyum mendengar jawaban yang dibisikkan oleh Hana.

Tapi siapa perduli? Yang penting, sekarang gue sudah bebas. Gue kembali bersekolah, walaupun bukan di sekolah lam gue. Dan yang terpenting lagi, Digory North ternyata memberi kebebasan kami (gue dan Bayu) untuk memilih.

"Kalian bisa memilih di mana kalian akan bersekolah, dan aku akan segera mengurusnya," katanya waktu itu.

Tanpa pikir panjang, Bayu langsung mengatakan. "Bandung, Om. Tempat Indra bersekolah." katanya.

Bandung. Tidak terlalu buruk. Setidaknya gue bisa menjalani hidup normal sebelum gue benar-benar harus terikat kerja dengan Digory North. Dan omong-omong, gue nggak tahu sejak kapan Bayu memanggil Digory North dengan sebutan 'Om'.

Gue melirik Bayu dari balik pintu. Cowok itu tengah duduk di meja belajarnya yang agak berantakan dengan posisi membelakangi gue. Bungkus permen dan juga gumpalan-gumpalan kertas terhampar di sana. Sementara banyak kaleng minuman kosong berjejer di sisi kiri mejanya.

Gue mendengus. Kalau dipikir-pikir, gue tidak kalah jorok dengannya dulu. Membiarkan sampah kulit duren di mana-mana, misalnya. Tapi sekarang? Oh, gue nggak bisa. Rasanya tangan gue udah gatel buat menjitaknya.

"Aduh!"

Bayu meringis, ia mengusap-ngusap kepalanya yang gue jitak tadi. Sukurin!

"Lo tau gue gak suka ada sampah berceceran begini!" Kata gue, seraya menunjuk-nunjuk sampah itu.

"Nanti gue beresin, sayang. Lagian kan lo sama joroknya dulu kayak gue gini."

Sekali lagi, gue menjitaknya tanpa ampun. Sudah sebulan lamanya gue tinggal di rumah Om Dani, dan tentunya gue jadi satu rumah dengan Bayu, Indra dan juga adiknya, tapi di sini ternyata yang paling jorok Bayu! Dan oh ya, gue belom cerita tentang keberadaan Hana sekarang. Cewek itu memilih tinggal di rumah lamanya dan sekali-kali melanglang buana pergi entah ke belahan dunia mana. Katanya sih jadi bandar narkoba, tapi kok gue enggak percaya ya? Gue lebih percaya dia doyan travelling dibanding jadi bandar narkoba.

"Aduhhh! Ampun-ampun dong, sayang! Sakit, tau?"

"Jangan panggil gue sayang."

"Lho, emang salah?"

Gue emang udah.... Ehm, pacaran sama Bayu. Tapi bukan berarti dia bisa perlakuin gue kayak cewek-cewek lebay di luar sana. Gue nggak suka dipanggil sayang, beib, mbeb, baby, hunny, atau semacamnya.

"Ya nggak salah! Tapi gue nggak mau, tau?"

Bayu mengangguk-ngangguk, "Oke bu bos!"

"Sekarang bersihin semuanya Bay, lo tuh bahkan lebih jorok dibanding Indra."

AftertasteWhere stories live. Discover now