Prolog (REVISI)

703 36 0
                                    

Kira tidak percaya ia menghabiskan waktunya di warnet sejak pulang sekolah hingga pukul sepuluh malam. Ia tidak peduli dengan sisa gajinya yang sudah menipis, yang terpenting baginya kini adalah bisa melupakan sejenak semua tentang cowok itu.

Point Blank, DotA (Defense of the Ancients), Lost Saga, dan berbagai game online sudah ia jajal sejak tadi. Dan pada akhirnya, ia berakhir bermain DotA 2 hingga pukul sepuluh malam. Oh, ralat, kini sudah pukul setengah sebelas malam dan warnet akan segera tutup.

Menurutnya, hanya dengan bermain game lah Kira bisa melupakan permasalahan hidup yang tidak ada habisnya itu. Oke, memang sangat simple, permasalahannya hanya karena seorang cowok. Tapi, siapa sih yang tidak galau jika diselingkuhi demi uang untuk berkuliah?

"Mbak, udah mau tutup." kata si penjaga warnet, yang belakangan diketahui Kira bernama Acong.

"Iya bentar lagi, cong." kata Kira yang seakan tidak mempedulikan Acong yang sudah sangat mengantuk itu.

"Mbak, sekarang jaman tuh udah canggih. Masa, masih main DotA di warnet. Sekarang udah ada Mobile Legend di hape, bahkan game terbaru macem Genshin Impact pun ada." keluh Acong yang sepertinya sudah muak dengan aktivitasnya menjaga warnet.

Kira mendengus. Jika seandainya ia memiliki handphone canggih seperti yang dikatakan Acong barusan, ia tidak akan datang ke warnet ini hanya untuk bermain game! Handphone satu-satunya yang ia miliki adalah handphone Android versi jadul, yang bahkan memorinya tidak cukup untuk menyimpan lima buah aplikasi.

"Iya! Iya! Bentar, gue log out dulu." kata Kira yang menyerah pada akhirnya, dan mengingat harus mengerjakan pr nya di rumah.

"Totalnya lima puluh ribu ya mbak." kata Acong.

Kira menelan ludahnya, ia melirik Acong dengan tajam. "Kok mahal banget?!" protesnya.

"Iyalah, kan mbaknya main dari jam empat sore, sekarang udah jam setengah sebelas. Satu jam dikenakan tarif empat ribu rupiah, empat dikali enam itu dua puluh empat ribu. Setengah jam dihitung dua ribu, jadi total dua puluh enam ribu." jelas Acong, dengan gaya seolah dia adalah seorang ahli matematika.

"Terus, kenapa jadi lima puluh ribu?!" tanya Kira meminta penjelasan.

Acong berdecak sebal, "Kan mbaknya tadi mesen air mineral dua botol, sama Internet. Satu botol air mineral harganya empat ribu, Internetnya harga enam belas ribu. Total lima puluh ribu!" ujarnya memberi penjelasan lagi.

Kira menggaruk kepalanya kebingungan, karena sisa uangnya hanya dua puluh ribu. Sisanya lagi, ia simpan di dalam kaus kaki yang tersimpan rapi di lemari kosannya. Sialan, mie instan dipakein telor sama kornet aja kok mahal banget! Kornetnya juga cuma sedikit! Batinnya kesal.

"Cepet dong mbak! Saya ngantuk nih!"

"Gini deh cong, sisa duit gue cuma dua puluh ribu. Besok gue dateng lagi dan lunasin sisanya, gimana?" tanya Kira yang memberi solusi kepada Acong, padahal saat ini jelas-jelas dialah yang sedang membutuhkan solusi.

Acong menggelengkan kepalanya, ia berbalik ke belakang dan menunjukan tulisan 'DILARANG MENGUTANG' yang terpasang besar-besar di tembok.

Kira berdecak, "Dari pada lo nggak tidur-tidur karena nungguin gue balik ke kosan buat ambil uang?" katanya yang semakin mendesak Acong.

"Tapi prinsip saya tuh nggak ada yang boleh ngutang di warnet ini mbak!"

Kira mengangkat bahunya, ia meletakan uang pecahan dua puluh ribu di depan komputer.

"Pilih mana, melanggar prinsip satu kali atau nggak bisa tidur karena nungguin gue pulang ke kosan?"

Kini, giliran Acong yang kebingungan dengan pilihan yang diberikan oleh Kira. Ia menyipitkan matanya dan sadar betul, Kira sedang bertingkah licik, meskipun cewek ini ada benarnya juga.

Selagi mereka bernegoisasi tentang dunia perhutangan, suara dehaman yang cukup berat mengagetkan mereka berdua. Kira dan Acong sama-sama menoleh ke arah sumber suara.

"Udah tutup pak." kata Acong ramah kepada pria itu.

Kira menyipitkan matanya, pria itu sepertinya bukanlah orang Indonesia. Matanya biru, sama seperti matanya.

"Biar saya yang bayarkan." kata pria itu kepada Acong, "Berapa tagihannya?" tanyanya dengan bahasa Indonesia yang tidak terlalu fasih.

Kira mengerjapkan matanya berkali-kali, benaknya bertanya-tanya siapakah gerangan pria ini, karena memang sebelumnya mereka memang belum pernah bertemu.

"Bapak siapanya mbak ini ya?" tanya Acong yang kepo, kenapa tiba-tiba pria itu membayar semua tagihan Kira.

Pria itu tersenyum, "Saya temannya." katanya sambil memberikan pecahan uang seratus ribuan kepada Acong.

"Yah pak, nggak ada kembaliannya."

"Ambil saja."

Kira menggeleng keras-keras, "Tunggu! Nggak bisa gitu, dong. Pokoknya kembaliannya buat gue main lagi besok!" katanya yang tidak mau rugi.

"Ihh kok gitu?!" protes Acong yang tidak mau kalah.

"Yaiyalah! Itu kan masih hak gue."

Acong akhirnya mengalah, "Yaudah deh sana pergi, terserah mau buat main besok kek, lusa kek! Nggak dateng lagi ke sini juga nggak apa-apa!"

Kira tersenyum lebar, ia buru-buru mangambil tasnya lalu menghampiri pria itu.

"Makasih ya pak!" kata Kira sambil membungkukan tubuhnya, lalu beranjak pergi.

"Kamu... Shakira?" tanya pria itu tiba-tiba, membuat Kira terkejut.

Bagaimana pria bule ini bisa tahu namanya? Nama lengkapnya pula?!

"Kok bapak bisa tahu?" tanya Kira penasaran, dan cukup takut dengan situasi ini.

Jangan-jangan pria ini adalah stalker yang sudah mengikutinya selama ini, dan berniat untuk menjualnya di luar negeri? Bagaimana jika hal seperti itu benar-benar ada? Penjualan manusia?! Kira bergidik ngeri, dan ia sudah melakukan ancang-ancang untuk melarikan diri.

Pria itu tersenyum, "Jangan takut, saya pernah ingin adopsi kamu dulu di panti asuhan. Hanya saja tidak jadi karena suatu hal." jelasnya.

Kira mencoba mengingat-ngingat, memang benar nyatanya ketika ia duduk di kelas dua sekolah dasar, ada seorang pria bule yang ingin mengadopsinya. Berita itu sempat heboh di antara anak-anak panti asuhan, namun redup begitu saja ketika pria itu membatalkan rencananya.

"Oh, jadi itu bapak yang mau adopsi saya dulu?" tanya Kira.

Pria itu mengangguk, "Bu Ros bilang, kamu sudah keluar dari panti asuhan. Jadi saya cari kamu, dan akhirnya ketemu."

Kira akhirnya mulai tertarik, ia mengurungkan niatnya untuk kabur dan bersikap sesantai mungkin. "Ada apa ya pak, kalau boleh tau?"

"Bu Ros bilang IQ kamu di atas rata-rata dan saya rasa kamu cocok untuk menjadi anak buah saya, kamu mau bekerja untuk saya?"

Bekerja?

Kira menyipitkan matanya, ia takut jika pria itu menawarkan pekerjaan mengerikan untuknya. Seperti kupu-kupu malam misalnya? Pembunuh bayaran? Hiiiy!!!

Pria itu tertawa kecil, "Jangan takut, ini pekerjaan yang mengharuskan kamu untuk belajar programming." ucapnya, dan seketika semua pikiran buruk Kira sirna begitu saja.

"Programming?"

Pria itu mengangguk, dan mulai menjelaskan.


****


Halo teman-teman, sudah lama ya aku gak muncul... 

Aku kembali lagi dengan revisi Aftertaste nih. Sebelumnya aku ada info in soal info penerbitan. Namun karena beberapa dan lain hal, novel ini batal terbit dan aku memutuskan untuk menariknya dari penerbit tersebut. (Dan lagi cari penerbit lain, tapi kalau beruntung, mungkin akan terbit. Kalau tidak beruntung, aku upload full di wattpad).  

Jadi, dari pada nganggur aja di laptop, aku posting ulang di sini aja ya sambil cari peruntungan di penerbit lain... Muehehehehe. 

Atau kasih sekiranya bisa kasih saran ke aku, mendingan aku buat story baru untuk Aftertaste Revisian ini, atau update di sini aja ya??? Yuk, minta komentarnya!

AftertasteWhere stories live. Discover now