xxxiii

61.9K 5.1K 145
                                    

Kira.

Mobil yang kami naiki segera melesat dengan cepat meninggalkan kantor cabang profesor West. Kali ini, Indra yang membawanya karena tangan Bayu dan Martin tidak dalam kondisi yang baik.

Para petugas yang sepertinya disewa Digory North bilang, mereka akan mencoba memadamkan api dan mencari Agora. Sebenarnya, gue gak tau Agora itu siapa. Tapi kayaknya Agora seorang Inspektur, atau pimpinan mereka. Sepertinya.

Sebenernya, gue nggak yakin kita mau ke mana. Nggak ada tujuan, sementara Martin dan Hana hanya menunjuk ke arah perginya profesor West.

"Kita harus ke mana?" tanya Indra.

Gue lihat Hana menggigit bibirnya, selama satu menit lamanya kami diam. Tiba-tiba, ponsel Hana berbunyi.

"Agora?" gumam Hana, sambil menatap ponselnya dengan tatapan bingung.

"Halo."

"Kalian ada di mana? Coba kalian pergi ke arah pelabuhan, saya sedang mengarah ke sana. Sedari tadi saya membuntuti mereka."

"Pelabuhan? Ah, oke, kami bakal ke sana."

Setelahnya, tanpa disuruh Indra langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Agora ternyata buntutin mereka." kata Hana.

"Oh baguslah, gue pikir dia udah jadi daging panggang." ucap Indra, sementara kami menahan tawa mendengarnya.

Tubuh kami sempat terpontang panting di dalam mobil, sementara Martin dan Bayu meringis-ringis karena lukanya beberapa kali terbentur. Yah, itu wajar saja. Mereka kan hanya remaja biasa, yang pasti kesakitan bila kena tembak atau terbakar. Anyway, kena tembak itu emang sakit banget. Tapi gue gak bisa pungkiri kalau kena bakar itu pasti lebih sakit dari pada kena tembak.

"Indra!" pekik Martin, sepertinya cowok itu sudah tidak tahan karena luka bakar yang membuat tangannya lebih mirip daging panggang itu beberapa kali terbentur.

"Perih tau!" tambah Martin kesal.

"Kita harus cepetan, kalo gak cepetan si West bakal kabur!" kata Indra membela diri.

Gue melirik Bayu. Cowok itu terlihat sekali sedang menahan rasa sakitnya. Sementara tangan gue bergerak untuk meraih tangannya. Gue menyelipkan jari-jari gue diantara jari-jarinya. Sementara Bayu, cowok itu melirik gue dan melemparkan senyum.

"Indra awas!" pekik Hana.

Tiba-tiba saja mobil hampir menabrak mobil lain. Untung saja, Indra berhasil menghindarinya.

"Wohooo!! Tau nggak, di bandung gue gak pernah kayak gini! Udah saatnya gue menyalurkan minat dan bakat gue." ujarnya, lantas Bayu langsung menoyor kepalanya.

Akhirnya, kami sampai di pelabuhan. Hana segera kembali menghubungi Agora saat kami sampai di sana. Sementara, mata gue menangkap sosok yang tidak asing lagi bagi gue. Pengamanan yang ketat untuknya, justru membuat dirinya mencolok.

"Itu West!" kata gue, sambil menunjuk ke arah mobil yang berada tidak jauh dari kapal.

"Senapan gue ada di mobil yang satu lagi!" kata Indra, cowok itu memukul setir.

Akhirnya, tanpa pikir panjang Indra langsung menjalankan mobilnya ke arah profesor West.

"Good job, Ndra." kata Bayu.

Hana yang duduk dekat sekali dengan jendela, segera membuka jendela dan mengeluarkan tangannya yang tengah memegang pistol. Posisi Hana dan Martin memungkinkan untuk menembak profesor West, tapi tidak dengan gue dan Bayu. Kami duduk di sisi yang berlawanan.

"Ndra, tolong lebih ke tengah." kata gue, yang segera mengeluarkan tangan gue dari jendela.

"Sekarang!" ucap Hana.

Sebenarnya gue gak tau gue mau nembak siapa, soalnya posisi profesor West nggak terjangkau oleh gue. Akhirnya, gue memilih untuk menembak kacung-kacungnya. Dari pada mereka mengganggu kan.

"Tembak sampe mati, gue gak mau dia idup!" teriak Martin.

Gue bisa melihat tubuh profesor West tumbang. Gue juga gak tau tembakan Hana atau Martin yang berhasil mengenai tubuh dan kepalanya. Gue meringis. Agak takut melihat pemandangan itu.

"Gue berhasil ngenain kepalanya." ucap Hana, cewek itu tersenyum lebar.

"Tutup jendelanya, kita ke Agora." usul Bayu.

Tentu saja, kami nggak berani mengecek keadaan profesor West di sana. Tapi tahukah kalian, para polisi pasti mengira kami pembunuh. Memang benar sih, pembunuh. Tapi kabar buruknya adalah, pembunuh pasti akan mendekam di penjara.

Kami semua turun dari mobil dan melihat Agora memandang kami dengan mulut terbuka.

"Siapa yang menembak West tadi?" tanyanya.

"Aku dan Martin." jawab Hana.

"Lalu sisanya?"

"Aku." jawab gue.

"Kalian akan di adili karena masih dibawah umur. Tapi tenang saja, Ayah Martin tidak akan membiarkan kalian masuk penjara."

Kami semua bisa bernapas dengan lega. Beberapa petugas keamanan yang baru saja sampai di pelabuhan ini segera menghampiri profesor West yang sudah terkapar (gue nggak mau jelasin kondisinya saat ini secara mendetail), dan aku ingin muntah melihatnya walau hanya dari kejauhan.

Mereka mengecek beberapa orang yang juga tertembak. Memang ada yang belum mati, namun mereka sudah tidak berdaya. Agora juga sudah meninggalkan kami untuk mengecek manusia-manusia laknat yang sudah tidak berdaya itu.

"Menurut lo West mati?" tanya Bayu, entah dia bertanya pada siapa.

"Gue yakin dia udah mati." ucap Hana.

Gue mengangguk, menyetujui ucapan Hana barusan. Bagaimanapun, Hana sudah menembak kepala pria tua itu. Kalau dia belum mati, rasanya terlalu mustahil.

Agora kembali menghampiri kami. Gue nggak bisa menebak-nebak apa yang dipikirkannya melalu ekspresinya. Tapi jelas-jelas, om-om itu menyunggingkan senyum tipis.

"Mati." ucapnya singkat dan juga pelan.


********************************************

a.n :

gak bisa update tiap hari lagi nih, wkwk. tenang aja, beberapa chapter lagi ending kok. Dan gantinya, kalian baca rewind yang udah gue re-write aja. wkwkwkw

AftertasteWhere stories live. Discover now