21

6K 497 17
                                    

Sudah seminggu berlalu. Setiap hari aku bersenyembunyi di ruang cuci untuk mengirim pesan pada Taeyeon. Tidak satu pun pesanku yang dibalas olehnya, bahkan mungkin dibacapun tidak. Yeah, untuk apa dia melakukan itu jika aku bahkan tidak melakukannya kemarin. Semua memang salahku dari awal. Tidak seharusnya aku menurut begitu saja pada Taeyeon. Seharusnya aku menolak idenya untuk tinggal bersama Yoona dan lebih memilih untuk tetap bersamanya dirumah. Aku sangat bodoh.

***


Aku sedang sibuk mengerjakan berkas pekerjaanku di ruang tamu saat Yoona tiba-tiba berdiri didepanku dan memberikan sebuah amplop coklat.

"Apa ini?" tanyaku padanya.

"Mana ku tahu?" ujarnya sambil berjalan pergi. Aku meletakkan laptop disampingku dan membuka amplopnya.

Oh tidak mungkin.

Aku memasukkan kembali isi amplop tersebut dan berlari keluar menuju mobilku. Aku mendengar teriakan Yoona saat aku memasuki mobil dan menyalakan mesin. Aku mendengarnya menggunakan bayi itu lagi untuk mengancamku, tapi saat ini aku tidak peduli soal itu. Aku menginjak pedal gas dan menabrak pagar rumah Yoona. Peduli apa aku soal mobilku. Dari kaca spion aku dapat melihat para bodyguard yang terjatuh karena terkejut atas perbuatan ku barusan.

***


Sesampainya dirumah, aku langsung membanting terbuka pintu depan. "Taeyeon! Dimana kau?" aku berteriak memanggilnya.

Apakah aku marah? Ya. Taeyeon tidak bisa begitu saja mengirimkan surat seperti ini padaku. Terutama saat aku sama sekali tidak menyetujuinya.

"Taeyeon!"

"Apa-apaan kau Baekhyun? Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya dengan wajah tidak senang. Dahinya berkerut dan dia berjalan dengan marah padaku dari arah ruang makan.

"Kita harus bicara," mulaiku. Aku menarik tangannya dan masuk ke dalam kamar atas.

Taeyeon melepaskan genggaman ku dan berjalan duduk di pinggir kasur. Aku menutup pintu.

"Apa ini?" tanyaku sambil berbalik badan dan mengangkat amplop coklat ditanganku.

"Surat gugatan cerai," jawabnya.

"Dan tidak akan pernah aku menandatangani surat ini!" aku melempar amplopnya kelantai. Taeyeon terkejut mendengar suaraku yang meninggi. Aku tidak pernah semarah ini padanya. "Taengoo, aku tidak mengatakan cinta padamu dengan bercanda. Aku selalu bersungguh-sungguh saat aku mengatakan itu!"

Taeyeon mengalihkan pandangannya dariku. Aku berjalan mendekatinya, berlutut dan menyandarkan kepalaku di lututnya. "Tolong jangan ceraikan aku. Aku tidak ingin berpisah denganmu," aku memohon padanya, merasakan air mata yang mengalir dan menetes di lututnya.

Taeyeon hanya terdiam, tidak mengatakan apapun. "Dengarkan aku. Aku seharusnya mengatakan yang sebenarnya padamu," Aku mencari tangannya dan menggenggamnya erat. Meskipun wajahku tersenyembunyi diantara kedua lututnya, aku tahu Taeyeon mendengarkanku.

"Aku tidak bisa menghubungi sama sekali karena ia selalu mengancamku dengan membunuh bayinya. Aku tahu kau tidak akan senang jika ia melakukannya dan akupun tahu bahwa kau benar bahwa bayi itu adalah anakku. Ia juga mengancam hal yang sama jika aku bahkan mendekatimu satu meter lebih dekat. Dia mengancamku bahwa dia akan membunuh bayimu jika aku melakukan itu," jelasku, tak bisa menahan tangis dari rasa bersalah dan tekanan yang aku rasakan. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa Taeyeon.

"Kau lihat?" Ia akhirnya bersuara. Taeyeon melepaskan genggamanku dan mengangkat kepalaku dengan sentuhan lembutnya yang sangat aku rindukan. "Aku tahu kau mencintaimu. Tapi situasi ini membuatku sangat tertekan. Kau sangat tahu bahwa apa yang aku rasakan akan berakibat buruk bagiku dan bayiku. Yoona sudah membunuhu secara perlahan Baek, begitupun dengan bayiku. Jika kau pergi dari sisinya, aku yakin Yoona tidak akan pernah berhenti mengganggu kehidupan kita, kehidupan ku juga anakku. Tidak sampai dia memilikimu seutuhnya," ujarnya dengan mata yang penuh rasa sakit.

I Met You On Our Wedding Day [BAHASA INDONESIA]Where stories live. Discover now