"Pagi, Pak...."
Serempak, Maura dan teman sekelasnya menjawab semangat. Terutama para gadis yang mendadak berbinar-binar dan sibuk merapikan penampilannya masing-masing untuk sesekali mencari perhatian. Di manapun itu, tabiat perempuan memang selalu seperti itu ketika melihat laki-laki tampan.
"Bagaimana libur panjangnya? Sudah cukup atau masih kurang?" tanya guru tampan itu sambil berdiri tepat di depan meja Maura dengan tangan yang menyilang di depan dada.
"Kuranggggg!" koor anak-anak satu kelas.
Sang guru tampan itu lalu tertawa kecil dan berjalan menuju papan tulis untuk menuliskan sesuatu dengan spidol hitamnya di sana.
Galih Permana
081254000123
Jl. Suryakencana VII no. 103a
galihp@yahoo.com
Itu yang ditulis olehnya di papan tulis. Beberapa detik kemudian, suara pena bergesekan dengan kertas langsung terdengar di ruangan seluas 120 meter ini. Beberapa murid perempuan hanya mencatat nomer telepon Galih, sepertinya. Terlihat dari cara mereka menulis sambil berbisik-bisik dan tertawa kecil.
Namun teman sebangku Maura, sepertinya mencatat semua yang Galih tulis di papan tulis. Bahkan sekilas Maura melirik di bagian bawah bukunya, cowok itu juga menulis beberapa poin tentang apa saja yang telah Galih sampaikan tadi.
"Di sini ada yang sudah pernah saya ajar? Siapa saja?"
Sebagian murid mengangkat tangannya. Galih pun mengangguk-angguk.
"Oke. Jadi sudah tau kan sistem mengajar saya?" Galih kembali berdiri di depan meja Maura dan menumpukan tangan kirinya di meja. "Tidak akan ada ulangan harian sampai akhir semester, hanya saja saya akan membentuk kelompok untuk presentasi. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga orang, yang nantinya akan diacak dari absensi. Oh iya, siapa ketua kelasnya? Sudah dipilih belum?"
"Belum, Pak," jawab salah seorang murid cewek dengan nada lembut yang terdengar di telinga Maura seperti suara yang dibuat-buat imut. Menggelikan.
"Udah, Pak. Ketua kelas kita mah Nando tuh, Pak, si murid teladan," celetuk seorang cowok dari barisan belakang. Murid yang lainnya langsung berseru setuju sambil tertawa-tawa.
"Yang mana Nando?" tanya Galih.
"Yang paling culun, Pak!" celetuk lagi seorang cowok yang lain dari barisan belakang.
"Yang rambutnya lepek, Pak!" celetuk yang lainnya.
"Yang kacamatanya disolasi, Pak!"
"Yang sepatunya nggak ganti-ganti, Pak!"
Celetukan jawaban itu pun semakin bersahutan sehingga suasana kelas mendadak rusuh. Namun Galih sama sekali tak merasa terganggu, karena matanya sedang sibuk mencari-cari anak yang mengangkat tangannya dan mengakui namanya adalah Nando. Atau setidaknya yang ciri-cirinya seperti yang diteriakkan murid-muridnya.
"Saya Nando, Pak."
Maura langsung menoleh ke kanan begitu mendengar suara itu berasal dari partner mejanya. Maura melirik badge name di seragamnya yang sekarang sudah bisa terbaca jelas olehnya. Elnando Sheriff adalah nama yang terbordir di sana.
"Kamu ketua kelasnya?" tanya Galih kepada Nando.
"Bukan, Pak."
"Oke, kalau begitu sekarang kamu jadi ketua kelasnya ya," kata Galih dengan entengnya.
Segera saja Maura menautkan alisnya memandang Galih yang dari tempatnya duduk dapat terlihat dagu bawahnya yang terbelah dan terdapat rambut-rambut tipis menghiasinya. Maura bingung mengapa Galih bisa dengan mudahnya memerintah seperti itu padahal bukan wali kelas mereka.
Harusnya tidak seperti ini. Harusnya Maura lah yang mendapatkan tahta itu.
"Iya, Pak."
Kembali Maura putar kepalanya ke arah Nando. Alisnya semakin bertaut bingung. Kenapa nih cowok juga malah mau-mau aja? batinnya.
"Oke, kamu tolong buatkan kelompok untuk kelas ini yang terdiri dari tiga orang, dan kirim nama-namanya ke email saya maksimal besok malam. Dan saya akan membalas email kamu disertai materi-materi bab yang sudah saya pilihkan untuk masing-masing kelompok. Kelompok pertama mulai maju presentasi minggu depan. Paham?"
Nando mendengar dengan teliti sambil tangannya menggerakan puplen di atas bukunya dengan cepat. Mencatat semua yang diucapkan Galih tanpa mengalihkan pandangannya dari Galih sedikitpun. Ternyata cowok culun ini mempunyai kemampuan yang sama seperti Maura; bisa menulis rapih tanpa melihat.
"Paham, Pak."
"Oke, good." Galih kembali mengarahkan pandangannya ke murid kelas. "Semester ini saya akan mengajar Bahasa Inggris, jadi ketika presentasi nanti kalian wajib menyampaikannya dengan Bahasa Inggris ya."
Seruan kecewa langsung terdengar seisi kelas.
"Jangan protes! Kalian kan sudah kelas 12, punya kemungkinan untuk kuliah di luar negeri, jadi melancarkan Bahasa Inggris sangat diharuskan dari sekarang. Jangan bisanya bahasa Inggris cuma bilang i love you buat nembak cewek doang!" Galih tertawa diikuti tawa murid satu kelas. Sedangkan Maura hanya tersenyum kecil.
"Oke, kalau begitu saya akhiri pertemuan pertama kita hari ini. Kita ketemu minggu depan dan kelompok pertama langsung maju presentasi ya." Galih kembali ke mejanya dan duduk di kursi lalu membuka daftar absensi yang tersedia di atas meja. Memanggil satu persatu nama-nama yang tertera di deretan absensi tersebut. Hingga sampai pada gilirannya, Maura mengangkat tangan dan dibalas dengan lirikan lama oleh Galih.
Galih menatapnya tanpa berkedip. Keningnya berkerut dalam seolah otaknya sedang berpikir keras. Maura bingung. Teman sekelasnya pun sampai-sampai jadi ikut memperhatikan Maura dengan terheran-heran. Baru setelah sepuluh detik, Galih kembali fokus pada absensi dan kembali memanggil nama-nama lainnya. Namun tetap saja, sesekali Galih mencuri-curi waktu untuk melirik Maura.
Maura jadi semakin bingung.
Setelah selesai mengabsen, Galih lalu mengambil tasnya dari atas meja dan berjalan keluar kelas. "Sampai bertemu minggu depan," ucapnya sambil berjalan.
Namun belum sampai setengah dari jarak meja ke pintu kelas, Galih kembali berhenti. Tepat di depan meja Maura dan Nando. Dia menunduk dan menatap Maura sambil tersenyum. "Maura, kamu kenal Pak Prasetyo Ari?" tanyanya pada Maura dengan suara pelan. Dan itu sukses menimbulkan wajah-wajah penasaran dari teman sekelasnya yang lain.
Maura sedikit kaget dengan pertanyaan itu. Untuk apa Galih menanyakan nama Papanya?
"Kenal, Pak," jawab Maura kemudian.
Galih kini tersenyum semakin lebar. "Oh ya, ternyata benar. Salam ya buat Papa kamu," katanya lalu kembali berjalan menuju pintu kelas.
Namun, sebelum berbelok ke ruang guru, Galih membalikkan badannya lagi dan menatap Maura. Wajah-wajah penasaran murid kelas semakin bertambah dua kali lipat. Apalagi saat dengan lantangnya Galih mengucapkan sesuatu pada Maura, yang sukses membuat murid sekelas memandang kaget.
"Oh iya, Maura, selamat ulang tahun ya!" begitu kata Galih. "Maaf telat ngucapin."
Sesudah itu, Galih berbalik lalu kembali melanjutkan langkahnya berbelok ke ruang guru. Bisikan-bisikan heran dari murid cewek di kelas pun langsung terdengar bising. Dari segala arah, Maura merasa tubuhnya panas oleh lirikan atau tatapan dari teman-teman sekelasnya. Maura sama sekali enggan memutar kepalanya sedikitpun.
Maura bingung, bagaimana bisa Galih mengetahui hari ulang tahunnya?
Bagaimana juga Galih bisa tahu kalau dirinya adalah anak dari seorang Prasetyo Ari?
Padahal, di daftar absensi sana pasti namanya hanya Maura saja, bukan Maura Prasetyo. Di daftar absensi sana juga tidak mungkin tertulis tanggal lahir, kan?
Lalu kenapa Galih bisa langsung mengenalinya ketika melihat namanya di absensi? Kenapa Galih bisa tahu hari ulang tahunnya?
Ihh, siapa sih sebenernya dia? Kenapa sih hari ini semua serba aneh?
***
INESIA PRATIWI
(re-publish 4/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Ketiga! [Repost]
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)