"Gapapa. Eh, lo bawa peuyeum nggak?"
"Hah?" Maura gantian yang mengernyit.
Namun cowok itu tak menanggapi lagi. Dia malah mengulurkan tangan kanannya ke arah Maura yang kemudian disambut riang oleh Maura. "Salam kenal ya, Maura. Kalo nama gue ada di sini nih," dia menunjuk badge namenya dengan tangan kiri, dimana nama Dewa Rama terbordir di sana. "Panggil aja Dewa. Jangan pernah panggil Rama kalo lo bukan Shinta ya."
Maura langsung tertawa seraya mengangguk-angguk setelah melepas jabatan tangan mereka. "Nama lo berat banget, Dewa."
"Daripada nama lo, cuma satu kata. Irit banget."
"Sengaja, biar orang kayak lo punya kerjaan buat komentarin nama gue."
Dewa mendengus geli. "Lo ini pasti tipe orang yang nggak suka dijadiin pilihan ya?"
Maura menautkan alis bingung. "Nggak tuh," kilahnya. Lagian kenapa nih cowok malah jadi out of topic gini? batinnya lagi.
"Ahhh, masa sih?" Dewa menaik-turunkan alis tebalnya. "Tuh, buktinya nama di bagde name lo cuma ada satu kata."
Maura melirik ke seragamnya sendiri lalu menggeleng-gelengkan kepalanya atas omongan ngaco Dewa. "Apa hubungannya, Dewa?"
"Ya ada, lah. Lo tuh pasti sengaja bikin orang lain nggak punya pilihan lagi buat manggil nama lo, kan? Misalkan gue nih, nama gue kan Dewa Rama, gue bisa aja dipanggil Dewa atau Rama, jadi orang-orang bebas milih mau manggil gue apa. Tapi lo... lo tuh nggak suka dipilih, makanya nama lo cuma Maura," jelas Dewa dengan mimik wajah serius dan juga konyol.
Maura semakin menautkan alisnya lebih dalam lagi, namun tak urung juga senyumnya mengembang mendengar jawaban konyol itu. Baru kali ini Maura menemukan orang yang pemikirannya sampai sejauh ini tentang namanya. Untuk ukuran orang yang baru pertama kali bertemu dan berbincang, bagi Maura percakapan ini termasuk konyol. Tak normal seperti kebanyakan orang yang baru saling mengenal.
Dewa unik, batin Maura.
"Jadi gue bener, kan?" tanya Dewa lagi dengan tampang polos yang menggelikan.
"Ya... gue juga nggak punya alasan untuk tidak membenarkan lo," jawab Maura. "Tapi sebenernya nama gue bukan cuma satu kata kok. Di belakangnya ada nama bokap gue, tapi dari kecil kita sepakat untuk nggak menyisipkan nama itu di setiap pendaftaran sekolah. Biar nanti gue bisa berdiri sendiri tanpa bantuan nama itu," lanjut Maura lagi.
Dewa mengangguk-angguk dengan wajah sok seriusnya. "Gitu ya? Boleh juga tuh." Lalu dia kembali bertanya, masih memberi pertanyaan konyol yang sudah jelas sekali tidak Maura tahu jawabannya. "Lo tau nggak arti nama gue?"
"Emangnya harus tau?"
"Nggak juga sih, tapi siapa tau nanti masuk di soal ujian."
Maura kembali terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Ajaib nih cowok!
"Dan karena gue baik, takut lo nanti nggak bisa jawab soal ujian, makanya gue kasih tau aja nih apa arti nama gue," kata Dewa lagi. "Kalo Dewa lo pasti udah tau lah ya apa artinya, banyak tuh patungnya di kuil-kuil."
"Oke, trus?"
"Dan kalo Rama katanya sih diambil dari kitab Regweda dan Atharwaweda yang artinya gelap atau kegelapan. Nah, ngeri banget kan tuh nama gue? Dewa Kegelapan." Dewa berdecak kecil lalu tertawa setelah selesai menjelaskan arti namanya sendiri.
Namun kali ini, berbeda dengan Dewa, reaksi Maura justru berbanding terbalik. Maura hanya terpana dan bertanya-tanya dalam hati tentang kebetulan yang sangat pas ini di antara mereka berdua.
"Dewa..." panggilnya pelan dan serius.
Dewa mengangkat alisnya tanda bertanya.
"Lo tau nggak arti nama gue?"
"Emangnya harus tau? Oh, emang masuk di soal ujian juga, ya?"
Keseriusan itu semerta-merta menghilang. Maura kembali tertawa lagi. Keterkejutannya tadi pun menguap begitu saja.
"Emang artinya apa? Kasih tau, dong. Takutnya nanti gue nggak bisa jawab soal ujian nih," pinta Dewa dengan wajahnya yang memelas.
Lalu setelah puas tertawa Maura pun menjawab, "Maura itu artinya juga gelap lho."
Selama beberapa detik, Dewa merapatkan mulutnya. Iris cokelatnya jatuh tepat di kedua bola mata Maura yang seolah membawanya masuk dalam-dalam dan menenggelamkannya tanpa riak. Ditatap seperti itu membuat Maura heran dan mengerjapkan matanya dengan cepat. Dan bulu-bulu matanya yang panjang menjadi bagian dari keindahan mata yang sedang diselami oleh Dewa itu.
Sang kegelapan kini akhirnya saling bertemu, kata hati Dewa.
Detik berikutnya, Dewa segera membawa dirinya berenang ke tepi kembali untuk segera tersadar dari kedua mata yang dalamnya tak berdasar itu. Kepalanya menggeleng-geleng seolah mencoba mengenyahkan apa yang melintas di kepalanya.
Dewa lantas tersenyum dan mengembalikan wajah jenakanya seperti semula. Telunjuk dan ibu jarinya mengusap dagunya, seolah berpikir serius. "Wah..., gue yakin kalo kita berdua bersatu, dunia ini pasti bakal penuh dengan kegelapan!" serunya mendramatisir.
Lagi-lagi Maura kembali tertawa sampai rasanya otot-otot pipinya terasa pegal. Dia merasa sangat senang bertemu dan berteman dengan seseorang seperti Dewa di hari pertama sekolahnya. Tingkah Dewa yang konyol dan apa adanya itu adalah tipe teman yang tidak akan membosankan sepanjang masa.
Dewa kemudian berdiri, sepertinya hendak masuk ke kelasnya. Maura pun ikut berdiri ketika matanya melirik jarum panjang di jam tangannya yang sebentar lagi menuju ke angka dua belas.
"Udah mau bel nih, Ra. Gue ke kelas dulu, deh. Mau rebutan tempat duduk biar dapet sama cewek-cewek cantik," ujarnya sebelum melangkah menuju kelasnya, dengan kedua alis yang dimainkan. Tak lupa juga senyum konyolnya. "Sampai ketemu lagi nanti!"
Maura ikut mengangguk sambil tersenyum lalu berjalan menuju kelasnya. Dia juga merapal dalam hati, supaya cita-citanya yang ketiga kali ini bisa dia capai. Supaya teman sebangkunya nanti adalah perempuan. Karena demi apapun, menurut Maura semeja dengan murid laki-laki itu menyusahkan. Tukang pinjam, tukang rusuh dan tukang nyontek. Dijamin!
"Eh! Eh, bentar dulu!"
Belum juga setengah jalan menuju pintu kelasnya, Maura tiba-tiba dihadang oleh Dewa lagi. Dengan cengiran konyol dan tangan kanan yang bertolak pinggang.
"Apa lagi?" tanya Maura.
Makin menyeringai lebar, Dewa menyisir rambutnya dari depan ke belakang dengan jari tangan kirinya.
"Gue mirip Rafi Ahmad, nggak?"
"Hah?" Maura sampai melongo. Detik berikutnya, cewek itu langsung tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Tuh kan, nggak mirip kan, ya? Kenapa sih orang-orang pada bilang mirip terus? Kan jadi nggak enak gue sama Aa Rafi."
"Apaansih lo!" Maura masih belum bisa menghentikan tawanya.
"Besok kalo lo ketemu Aa Rafi lagi di Bandung, titipin maaf ya. Maaf, gitu, gue mah nggak mirip sama dia, miripnya sama Vino G. Bastian. Udah gitu aja, makasih."
Sesudah itu, Dewa berlalu kembali menuju kelasnya setengah berlari. Bahkan sampai di depan pintu kelas, dia rusuh mendorong teman-teman cowoknya yang juga hendak masuk ke kelas. Supaya jalannya masuk ke kelas bisa didahulukan. Namun sayangnya, bukannya memberi jalan, Dewa justru kena amukan pukulan tas-tas temannya.
Memperhatikan itu, Maura tanpa sadar terus tersenyum. Dewa beserta kekonyolannya, berhasil menjadi penghibur paginya yang suram.
***
INESIA PRATIWI
(re-publish 3/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kedua! [Repost]
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)