Hello, Memory Kedua! [Repost]

Mulai dari awal
                                        

Setelah berhasil berdesakan di depan mading demi melihat di mana kelas yang terdapat namanya di dalamnya, Maura duduk di bangku panjang koridor sambil memperhatikan rintikan hujan yang belum lama ini jatuh beramai-ramai di lapangan sekolah.

Pagi ini diumumkan tidak akan ada upacara, dan itu membuat Maura kecewa. Padahal, dia sangat suka mendengar derap langkah kaki pasukan paskibra ketika membuat formasi untuk menaikkan bendera. Serempak dan merdu di dengar.

Di samping kekecewaannya itu, Maura juga sedang kesal. Wishlisnya yang ketiga lagi-lagi gagal dicapai. Maura gagal masuk di kelas unggulan sekolah ini. Entah apakah ada yang salah dengan hasil tesnya atau apakah ada yang salah dengan sekolah ini, Maura tak mengerti. Padahal ketika di Bandung, Maura selalu mendapat peringkat satu di kelas unggulan. Selalu.

Ah, ya udahlah, batinnya menyerah. Lagipula, langit tak perlu menjelaskan kalau ia tinggi, kan? Tanpa diberitahu pun semua orang tau langit itu tinggi.

"Dapet di kelas mana?"

Maura refleks memutar kepalanya ke samping, ke arah seorang cowok dengan mata jenaka berwarna cokelat bening dan senyum di bibir tipis kehitamannya yang langsung diberi nilai 80 untuk penampilannya oleh Maura. Cowok itu duduk di sampingnya, yang padahal Maura yakin tadi dia hanya duduk sendirian di bangku ini.

"Lo ngomong sama gue?" Maura menunjuk wajahnya sendiri.

Cowok itu tersenyum geli lalu mengangkat bahunya. "Itu juga kalo lo mau diajak ngomong, sih."

Maura ikutan mengangkat bahunya. "Kalo emang ngomong sama gue, gue dapet di 12 IPA 2."

"Oh, sebelahan dong," kata cowok itu.

Maura mengerutkan keningnya sejenak, berpikir. "Lo 12 IPA 3?" tebaknya.

Cowok itu menggeleng.

"12 IPA 1?!" kejar Maura, penasaran.

Barulah cowok itu mengangguk.

Oh, astaga, Mama! Itu kelas unggulan yang aku pengin! jerit hati Maura.

"Keren banget! Kelas unggulan, dong," kata Maura berusaha memuji tulus.

Cowok itu kembali mengangkat bahunya. Gerakan tubuhnya benar-benar cuek dan santai. Seolah di dunia ini hanya dialah orang satu-satunya yang tidak memiliki masalah apapun.

"Apa benefitnya sih kelas unggulan? Heran deh gue sama sekolah-sekolah."

Lho? Maura mengernyit. "Kenapa gitu?"

"Rasis. Buat apa dipisah jadi kubu-kubu gitu? Sama aja bikin yang pintar jadi makin pintar, yang bego jadi makin bego," jawabnya sambil terkekeh. "Kalo semuanya dicampur, bukannya jadi lebih bagus? Yang pintar jadi bisa bantu yang kurang pintar. Iya, kan?"

Sekilas Maura tersenyum. Di lubuk hatinya sebenarnya menyetujui ucapan cowok tinggi itu. Tetapi, di satu sisi Maura juga kurang setuju. Bukannya lingkungan penentu segalanya ya? Sama aja kayak kalo mau jadi orang baik, ya nggak bisa kumpul bareng sama preman, batin Maura. Namun dia memilih untuk tidak menyuarakannya. Berdebat dengan orang yang baru dikenal rasanya agak absurd.

"Eh, tunggu dulu, deh..." Cowok itu terlihat mengernyit sambil memperhatikan wajah Maura dengan serius, lalu matanya melirik ke arah badge name di seragam Maura yang masih terlihat putih bersih, tidak seperti seragam murid lain yang warnanya mulai lusuh di tahun terakhir sekolah. Seketika itu pula tawa kecilnya pun keluar, tawa yang mampu membuat matanya ikut tertawa. "Lo tuh anak baru, ya?"

"Iya, pindahan dari Bandung," jawab Maura.

"Ah, pantesan aja."

"Pantesan kenapa?"

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang