Hello, Memory Pertama! [Repost]

Start from the beginning
                                        

Maura menerimanya sambil mengucapkan terimakasih. Bukannya tidak peka, Maura sangat sadar jika Aris masih menyimpan perasaan untuknya. Di tatapan mata itu, Maura masih bisa menemukan cinta.

Sayangnya, bagi Maura semua sudah berakhir. Cerita cinta mereka sudah ditutup. Sekarang, Aris hanya seorang teman, sama seperti temannya yang lain. Tak peduli seberapa sering Aris mencoba memenangkan hati Maura lagi, Maura tetap mengabaikannya. Malah, kini Maura justru lebih berhati-hati dengan Aris.

Selama ini, Maura tidak pernah pusing memikirkan soal percintaan. Itu karena dia sudah cukup dengan cinta. Selama 17 tahun dia hidup, dia selalu di kelilingi cinta. Semua orang mencintainya, semua orang memujanya, dan semua orang mau bersamanya.

Kecuali..., orangtuanya.

Maksudnya, orangtua kandungnya.

Hidup di panti asuhan selama tujuh bulan sejak bayi tak mampu membuat Maura mengingat dimana dia lahir atau bahkan siapa wanita yang melahirkannya. Maura hanya mengenal nama Finda sebagai Mamanya, dan Pras sebagai Papanya. Mereka lah dua orang yang membawanya keluar dari panti itu dan menjadikannya bagian dari keluarga mereka. Mereka juga yang memberikannya nama Maura Prasetyo. Menggunakan nama Pras di belakang namanya, sebagaimana Maura telah dianggap sebagai anak kandung mereka sendiri.

Yang padahal, orangtua kandungnya sendiri saja tidak mau menganggapnya.

But, who's care? Maura kini sudah memiliki hidup yang sempurna, di tengah-tengah keluarga sempurna, dengan tau atau tidak tau nya dia tentang identitas orangtua kandungnya. It's doesn't matter anymore.

Maura tidak pernah sedih. Dia tidak pernah seperti anak-anak di film-film yang menuntut ingin tahu siapa orangtuanya dan mencari dimana orangtuanya ketika sudah besar. Dulu mereka yang membuangnya, kan? Mereka yang tidak menginginkan kehadirannya di dunia.

Jadi sekalipun Maura berhasil menemukan mereka, toh mereka tetap tidak akan peduli masihkah Maura hidup atau tidak.

Menjadi seperti ini saja sudah cukup untuknya. Cukup ada Pras dan Finda. Tanpa peduli dia darah daging mereka atau bukan. Yang penting sudah pasti dia adalah hidup dan mati mereka.

"Kamu besok jadi pindah?" Aris bertanya lagi.

Maura mengangguk mantap. "Ini jadi malam terakhir gue di sini."

"Ah, cuma Bogor, deket kok dari sini. Nanti aku bakal sering main ke sana deh," kata Aris sambil terkekeh seolah mencoba menutupi kesedihan yang terpancar di matanya. Jika dengan sikap acuh tak acuh Maura selama ini saja sudah membuatnya kesulitan meraih Maura kembali, bagaimana jika harus terpisah, semakin sulit kesempatan itu Aris dapatkan kembali.

"Sok atuh, asal nggak minta dianter pulang aja."

Aris tertawa, menghibur dirinya sendiri. Tangannya lantas refleks menepuk lembut kepala Maura. Maura pun tak sempat untuk menghindar. "Ra, kamu tau aku selalu ada di sini buat kamu, kan? Aku akan selalu ada di sini kalau nanti kamu mau kembali," ucap Aris dengan nada dan tatapan mata lembut. Meskipun suaranya terkalahkan dengan kencangnya musik yang berdentum, tetapi Maura tetap masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Hmm..." Maura memundurkan tubuhnya sehingga tangan Aris yang berada di kepalanya jatuh ke udara. Dia lalu mencoba tersenyum meskipun terlihat agak terpaksa. "Kayaknya gue nggak mungkin kembali ke sini, deh," ucapnya lalu kembali memundurkan langkahnya.

Mimik wajah Aris kembali muram. "Buat sekedar liburan?"

"Kalaupun liburan, kayaknya bukan lo yang bakal gue datengin deh."

"Walaupun kamu nggak datengin aku, aku yang akan nyamperin kamu."

"Ris, lo nggak lupa kan, kita udah putus?"

"Emangnya kenapa kalau udah putus? Kita masih bisa ketemu, kan? Aku masih boleh nungguin kamu, kan? Aku masih boleh berharap kita bisa balikan lagi, kan? Nggak ada larangannya, kan?"

Maura agak ngeri sebetulnya. Kedengarannya Aris ini malah jadi seperti orang yang semakin terobsesi dan emm... masih psikopat. Maura jadi takut bila berlama-lama lagi berdekatan dengan Aris.

"Eh, udah ya, gue mau nemuin yang lain dulu, ya. Goodbye, Aris!" Tanpa menunggu balasan dari Aris lagi, Maura segera membalikkan tubuhnya dengan cepat dan berjalan meninggalkan Aris. Sambil dalam hati berdoa supaya ini adalah pertemuan terakhir mereka.

Di tempatnya berdiri, Aris semakin menekuk wajahnya karena kecewa lagi-lagi mendapat penolakan dari Maura di kesempatan terakhirnya malam ini.

Kembali ke sisi Finda dan Pras, Maura langsung dibisikkan sesuatu oleh Finda. Lengannya dipegangi erat oleh Finda.

"Itu... Aris, kan?" bisik Finda sambil melirik ke arah tempat Aris masih berdiri sejak Maura tinggal pergi tadi.

"Iya, Ma," jawab Maura seraya mengangguk. Namun matanya enggan mengikuti arah pandang Finda pada Aris.

"Kamu ngundang dia?!"

"Iya. Dia kan masih temen aku juga, Ma."

"Tapi dia kan bahaya. Kamu lupa–"

Maura langsung memutar kepalanya ke arah Finda. "Ma...," desahnya sambil mengekspresikan tanda jengah dari matanya. "Dia udah berubah kok. Buktinya tadi kita ngobrol baik-baik aja."

"Nggak ada orang yang bisa berubah 100%, Sayang. Apalagi untuk merubah sifat buruk. Walaupun keliatannya dia udah baik-baik aja, kamu tetep harus waspada sama dia, dong."

"Iya, Ma, aku juga ngerti kok. Lagian juga ini kan di keramaian, dia nggak akan mungkin ngelakuin hal yang aneh-aneh lagi."

"Dia mantan pasien rumah sakit jiwa, Ra! Kapan dan dimana pun bisa aja nekat."

Maura lelah. Gadis bergaun biru muda itu menghela napasnya dan menggerakkan tubuh menjadi berhadapan dengan Finda. Meskipun sebenarnya capai mendengar kekhawatiran Finda yang berlebihan, Maura tetap memasang senyumnya sambil memegang lembut bahu ibunya itu.

"Mama nggak usah khawatir. Aris dulu emang pernah nonjok muka aku, jambak rambut aku, karena dulu posisi kita cuma lagi berdua dan dulu aku belum tau kalau dia punya kelainan jiwa. Nah, sekarang aku udah bisa lebih hati-hati kok."

"Teteap aja, Ra...."

"Ma...," Maura memotong lagi. "Lagian sekarang di sini kan juga ada Mama sama Papa yang jagain aku kok. Dia nggak akan lagi berani macem-macem. Tenang, yah?"

Senyuman di wajah cantik putrinya membuat Finda akhirnya luluh. Kekhawatirannya pun mulai mereda. Meski sesekali matanya masih mengawasi letak posisi Aris, agar sebisa mungkin berada jauh dari Maura.

"Selalu jaga jarak, ya, Ra." Finda selalu memperingati Maura setiap sepuluh menit sekali.

"Iya, Mamaaaa...," jawab Maura setengah bosan.

Dan ketika Finda sedang mencari kembali posisi Aris yang secara tiba-tiba menghilang dari pengawasan matanya, tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundah Maura dari belakang.

Tanpa pikir panjang, Maura pun menoleh sambil tersenyum. Namun... senyumnya seketika menghilang kala sebuah garpu mendadak menikam perutnya. Darah pun langsung bercucuran keluar dan menodai gaun biru mudanya saat Finda menarik tubuhnya sambil menjerit panik.

Jeritan Finda itu sontak membuat Pras dan tamu undangan lain menoleh. Bukannya kabur atau merasa bersalah, Aris –sang penikam justru masih diam di tempat dengan garpu penuh darah yang sudah ditarik keluar dari perut Maura di tangan kirinya sambil tersenyum mengerikan kepada Maura yang kini pandangannya mulai menggelap.

"Dengan begini, besok kamu nggak akan jadi pindah, kan?" ujar Aris yang detik kemudian langsung disambut tinjuan kemarahan oleh Pras.

***

INESIA PRATIWI
(re-publish 2/9/17)

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now