~~~

Di dalam ruangan yang bertuliskan 'Direktur' di depan pintunya, berdiri seorang Deva sambil menatap pemandangan di luar jendela ruangannya. Sementara sahabatnya, dibelakangnya duduk di kursi miliknya sambil sibuk memainkan sebuah rubik.

"Va, jadi kapan lo ngelamar doi?"

"Kalau gw udah siap."

"Ada apa lagi emangnya?"

"Gak ada apa-apa, lagi. Hanya saja Ve-" Deva terdiam memejamkan matanya. Pikirannya kembali mengingat kenangannya bersama gadis bernama Veranda itu.

"Hei, Va." Tiba-tiba Boby merangkul Deva dari belakang. "Semangat dong. Apa perlu gw ajarin cara ngelamar?"

"Apaan, sih." Deva membalikkan tubuhnya. "Gak elah, gw bisa sendiri kok."

"Masa? Tapi, gak ngelamar-ngelamar. Takut, ya sama bokapnya?" Ledek Boby.

"Dih! Gak lah!"

Keduanya terus mengobrol dan bercanda begitu rusuh. Sampai tiba-tiba seseorang membuka pintu ruangan direktur itu. Terlihat Shania masuk ke dalamnya dengan begitu santai.

"Aduh, ini cowok-cowok pada berisik banget ngobrolnya."

"Shania?" Kaget Deva dan Boby bersamaan.

"Kenapa pada kaget, sih?" Shania terlihat heran. "Kaya gak pernah ngelihat gw."

"Sendirian aja?" Tanya Deva.

"Sendirian? Gak kok sama- Loh? Itu anak kemana?" Shania berjalan keluar ruangan. "Ayo masuk, ah. Ngapain sih masih malu-malu." Ucapnya menarik seseorang yang datang dengannya.

"Ta-Tapi-"

"Sst!"

"Ada apa? Kok tumben gak bilang dulu sama kita kalau mau kesini?" Tanya Boby. "Hmm. Habisnya ini mendadak juga, sih." Jawab Shania mengeluarkan sebuah kertas yang terlihat seperti undangan.

"Undangan siapa itu?" Tanya Deva, lalu mengambil undangan itu dari tangan Shania. "Heh?! Kita keduluan lagi?!" Kaget Deva, Boby hanya diam melihatnya.

"Yah begitulah." Jawab Shania. "Padahal kita-kita duluan yah yang jadian. Tapi, nikahnya belakangan." Tambahnya.

Mendengar itu Boby langsung bergegas, mengambil HP, dompet dan kunci mobilnya. Lalu berlari keluar dari ruangan direktur itu.

"Tunggu, Boby! Kamu mau kemana?" Tanya Shania, menyusul Boby.

"Kak Boby mau kemana?" Tanya orang lain yang tadi datang bersama Shania.

"Paling ke rumah Shania, nentuin jadwal nikah." Jawab Deva asal sambil tersenyum, lalu duduk di mejanya dan melanjutkan rubik yang belum diselesaikan Boby.

"Oppa." Panggil gadis itu akhirnya seperti dulu lagi, siapa lagi kalau bukan 'dia'.

"Tenang aja undangan kita cuman ribet aja karena bentuknya lele." Canda Deva sambil tertawa.

"Ihh! Apaan sih! Bukan itu!"

"Terus kenapa Michellelele?"

"Ke tempat Elaine, yuk." Pinta Michelle, tiba-tiba Deva terlihat bangkit dan mendekati Michelle.

"Tapi, sebelum itu-"

Deva mengusap lembut kepala Michelle lalu tiba-tiba mencium lembut bibir Michelle. Sedikit kagetkan Michelle.

"Yuk, jalan sekarang."

Deva menarik tangan Michelle, namun Michelle menahannya.

"Kenapa lagi? Kurang?"

"Ihh! Bukan. Undangannya Elaine ketinggalan."

Michelle lalu mengambil undangan yang nyaris tertinggal di meja direktur itu. Undangan pernikahan Elaine dengan Farish.

~~~

Sebulan kemudian, setelah Farish dan Elaine menikah akhirnya mereka semua kembali berkumpul. Berkumpul di restoran keluarga milik Michelle. Tapi, belum ada satu orang yang datang.

"Andela dimana?" Tanya Farish.

"Tunggu aja, katanya." Jawab Elaine.

"Btw, tahun ini tiga pasangan yang nikah, ya?" Tanya Deni.

"Ya, emang tinggal tiga, kan? Siapa lagi?"

"Siapa bilang tiga? Empat! Jangan lupain aku." Suara seseorang terdengar dari belakang mereka, saat mereka melihat ke arah sumber suara terlihat Andela disana.

"Andela!" Kaget semuanya, Andela pun langsung menghampiri mereka dan memeluk Elaine tentunya.

"Emang udah ada calonnya?" Tanya Farish meledek, langsung saja Elaine memukul pundaknya pelan.

"Wess! Kak Farish mah jahat sama aku. Udah dong. Kak Farish kenal baik kok."

"Hah? Siapa?"

"Bentar lagi juga dateng, lagi markir mobilnya."

"Sorry, lama!" Teriak seseorang.

Mereka hanya bisa terkejut tak bisa berbicara saat melihat sosok yang langsung dipeluk Andela itu, kecuali Elaine.

"Re-Revan?" Kaget Farish yang masih melongo tak percaya.

"Farish, my bro!" Revan langsung berlari dan memeluk Farish yang masih kaget.

"Gi-gimana ceritanya?"

"Aduh, panjang. Tanya istri lo aja."

"Jadi, Andela sama Revan?" Tanya Michelle.

"Iyap."

Keduanya menunjukkan cincin mereka yang sama.

"Sorry ya. Selama ini gw kuliah di Amerika, jadi gak pernah bilang atau muncul. Dan Andela bilang biar jadi kejutan, dia juga minta gw ngerahasiain." Farish masih terlihat kaget. "Jadi, apa kalian nerima gw? Gw tahu gw du-"

"Yah. Gw, Boby sama Nobi, sih gak masalah. Yang dulu itu udah berlalu. Coba tanya Farish." Jawab Deva tersenyum.

"Gw..."

"Kami minta maaf."

Tiba-tiba Andela dan Revan yang masih berdiri itu membungkuk pada Farish.

"Baiklah. Tapi, janji gak akan sakitin Andela, sahabat istri gw."

"Sure!"

Revan dan Farish pun kembali berpelukan.

"Kwekku!!" Andela kembali menghampiri Elaine. "Berarti nanti kita jadi jodohin anak kita, ya!"

"Iya, Srikandiku." Jawab Elaine sambil mencubit pipi Andela.

"Jodohin? Gw sama Revan besanan gitu?"

"Lah? Gak apa-apa Rish. Lihat dong, gw sama Hamids aja mau jodohin anak kita." Ucap Deni sambil melirik anaknya dan anak GreMids couple yang sedang main bersama.

"Aduh. Gw rasa Farish jaman SMA bakalah pingsan ngeliatnya."

"Lebay! Hahahaha." Teriak spontan semuanya.

Suasana tawa dan ceria memenuhi acara kumpul dan makan bersama itu...

Joifuru High SchoolWhere stories live. Discover now