05 -Jangan Percayai Siapapun

4.3K 197 6
                                    

Aku berjalan diatas tanah berlapis humus dan daun kering, melewati trotoar di pinggir jalanan beraspal yang sepi. Tak ada satupun kendaraan yang lewat, hal itu tentu saja karena daerah tempatku berada kini adalah tempat yang terpencil.

Hari ini aku tidak masuk sekolah, meminta izin untuk menjenguk sepupuku yang sakit, tapi tentu saja semua itu bohong.

Selama ini aku tak pernah absen dari sekolah, jadi mudah saja meyakinkan guru tanpa dirundung dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas.

Tempatku berada kini berada sepuluh kilometer jauhnya dari pusat kota, tidak ada transportasi umum yang lewat daerah ini, karena jalur ini hanya digunakan sebagai jalur alternatif saat libur hari raya.

Tanpa transportasi umum, aku bukanlah apa-apa. Tanpa SIM ataupun sepeda motor, Aku terpaksa berjalan sejauh tiga kilometer lagi. Melewati jalur perbukitan dinaungi lebatnya hutan pepohonan jati.

Aku harus menemui orang tua itu. Karena jika tidak, nyawa gadis kuntilanak itu takkan tertolong lagi.

Ingatanku melayang pada kejadian tadi pagi. Aya nyaris membunuh dirinya dengan pisau dapur, Aku tidak terlalu memahami kondisinya, akan tetapi ada satu hal yang kumengerti.

Tubuhnya mengalami pembusukan, hal itu wajar bagi kuntilanak yang diubah menjadi manusia. Tapi hal ini seharusnya terjadi tujuh hari setelah penetrasi paku dilakukan. Begitulah kata gadis kecil berambut panjang itu.

Tapi rasa sakitnya itu membuatnya nyaris putus asa dan hampir saja nyawanya melayang. Aku merasa bersalah telah mengurungnya di dalam kamarku, akan tetapi hal itu demi kebaikannya sendiri

"Pim... Pim..."

Aku tersadar dari lamunanku, entah seberapa jauh aku berjalan. Tak jauh di depanku, sebuah mobil sport berhenti di pinggir jalan. Aku mencoba tak menghiraukan mobil itu, sampai kemudian jendela mobil terbuka, lalu seorang bapak paruh baya muncul dan memanggilku.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?"

"Maaf, permisi dik, adik mau ke tempatnya Mbah Slamet?"

Aku melirik curiga pada bapak paruh baya itu, tahu darimana bapak ini kalau aku akan kesana? Apakah si kakek itu yang memintanya untuk menjemputku? Yah, prediksi kematian yang membuat kakek itu menyelamatkanku seharusnya sudah cukup menguatkan bukti akan kemampuan supranaturalnya. Tapi meskipun begitu, aku tetap harus berhati-hati.

"Iya, saya mau pergi kesana. Ada apa memangnya pak?"

"Begini dik, saya juga mau pergi kesana. Ikut saya saja dik, kalau jalan kaki masih jauh."

Aku terdiam, kecurigaanku masih belum hilang. Apa tujuan bapak ini kesana?

"Ah, nama saya Arman, panggil saja Pak Arman. Saya ke tempat Mbah Slamet karena ada perlu, dan Mbah Slamet meminta Saya untuk menjemput adik."

Setelah mendengarkan penjelasan itu aku bersedia masuk ke mobil milik Pak Arman, dengan syarat Aku takkan memberitahukan alasanku pergi ke tempat Kakek Slamet.

Perjalanan kurang dari satu jam, tak terasa meski kami tidak bercakap-cakap. Aku yang duduk di kursi belakang sangat menikmati pemandangan deretan pohon jati yang berjejer di sepanjang jalan.

"Sebentar lagi kita sampai dik..."

Pandanganku yang terpaku pada kaca jendela samping, kini beralih pada kaca depan mobil. Mobil sport perak yang kunaiki memasuki hutan jati lebat dengan suara lutung yang bersahut-sahutan.

Suasana menjadi gelap dan suram, mobil berbelok menuju sebuah jalan desa yang tak diaspal. Jalan itu hanyalah sebuah tanah datar berumput layu yang dapat dilalui dua mobil kecil.

Malam Sebelum JumatWhere stories live. Discover now