22 - Kegelisahan dan Pencarian

20 9 0
                                    

Tenang sekali, hanya terdengar tetes air yang terjatuh di wastafel, rasanya benar-benar tenang. Pikiranku terasa kosong dan aku merasa sangat lelah untuk memikirkan apapun. Aroma bunga-bunga yang timbul tenggelam di bak mandi terasa memenjarakanku agar aku tetap disini.

Kubiarkan tubuh telanjangku terus berada di dalam air hangat yang Aji siapkan, sampai air itu mendingin. Ada banyak pertanyaan yang terus kupikirkan, tapi setiap aku memikirkannya pertanyaan itu seakan menuntunku pada labirin tanpa ujung.

Haruskah aku bergantung pada Aji, tentang apa yang seharusnya dan tidak seharunya kulakukan?

Benarkah jika aku menggantungkan tujuan hidupku padanya?

Apakah menemukan kepingan masa laluku itu baik bagiku?

Atau lebih baik hidup bagai air mengalir, sebagai sesosok monster berambut panjang yang tinggal di atas beringin?

Pada awalnya Aku dan Aji hanyalah dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir.

Aji tak pernah mengenal dunia yang kuhadapi, tentang bagaimana mengerikannya hidup dengan nyawa yang terus terancam. Sementara aku tak pernah mengerti tentang dunia manusia yang penuh dengan kebohongan dan kemunafikan.

Meskipun aku masih meragui pilihanku dengan terus bersama Aji, akan tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, bahwa aku senang tinggal bersamanya.

Ia tak hanya menganggapku sebagai tamu di rumahnya, akan tetapi sebagai sebuah saudara. Atau mungkin lebih tepatnya ia memperlakukanku sebagai seorang saudara sepupu, seperti yang ia katakan waktu ia memperkenalkanku di sekolah. Aji terus menyiapkan semua keperluanku, seakan tak peduli tentang hal-hal mengerikan yang telah aku lakukan padanya.

Namun meskipun begitu, apakah Aji bahagia dengan kehadiranku?

Aku tahu ia selama ini sendirian dan membutuhkan seorang teman yang akan selalu bersamanya. Tapi aku bukanlah manusia, dan aku tidak tahu bagaimana caranya berteman.

Ingin aku membalas kebaikannya dengan melakukan sesuatu untuknya, tapi tidak ada satupun yang kupikirkan selain menjadi teman yang baik untuknya.

Tubuhku bangkit dari lautan bunga berair yang menyelimutiku, lalu melangkah keluar dari bak mandi dengan berhati-hati.

Tatapan mataku tiba-tiba tertuju pada sosok cermin yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Paku Puntianak kini tertancap di kepalaku, dan aku bisa melihat sosok bayanganku di cermin.

Ada banyak kekuatan dalam diriku yang tak kugunakan selama bersama dengan Aji, dan diantaranya adalah kekuatan memasuki cermin dan pepohonan besar.

Aku tak ingin memberitahukannya pada Aji bukan karena takut, tapi aku hanya berpikir kalau ini belumlah saatnya, karena kekuatan yang tersembunyi dalam diriku lebih menakutkan dari makhluk malam lain.

Meskipun kini tubuhku dapat terlihat melalui cermin, akan tetapi apa yang muncul dihadapanku tetaplah bukan seorang manusia. Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang tubuhnya sepucat mayat dan matanya sekelam malam kecuali si tua Slamet itu.

Teman-teman Aji selalu mengatakan kalau aku ini memiliki wajah yang cantik dengan sepasang mata bulat penuh dan rambut hitam panjang, tapi kecantikanku ini hanyalah topeng untuk menyembunyikan sosok monster dalam diriku.

Selain itu, rambut hitamku sebenarnya terlalu panjang untuk ukuran manusia. Aku tidak pernah melihat teman sekelasku memiliki rambut hitam lurus sepanjang betis, bahkan yang paling panjang hanya sampai sebatas pinggul.

Mengurus rambut sepanjang ini bagai manusia pastilah menyusahkan, Aji pernah memintaku untuk mengikat rambutku ketika mandi agar rambut hitamku tidak rusak, tapi aku menolaknya. Hal itu karena rambut hitamku ini takkan pernah rusak, bahkan meskipun digunting ataupun dibakar.

Malam Sebelum JumatWhere stories live. Discover now