49 - Adik Perempuan

18 1 0
                                    

Sekolah berakhir dengan cepat seperti biasanya, Hari itu Aku memutuskan untuk pergi ke mall bersama Aya sebelum pulang sekolah. Membiarkan Aya mengenakan pakaian adikku terus rasanya seakan Aku tidak serius mengurusnya.

Aku jarang sekali pergi ke mall, terakhir kali Aku kesini waktu SMP bersama Ibu. Tepatnya sebelum Ayah meninggal dan beliau menikah lagi, karena itu datang ke tempat seperti ini bersama Aya rasanya benar-benar ada yang ganjil.

"Ngga apa-apa kan Aji? Benar Aji punya uang?"

"Punya lah, kalau Aku tidak punya kenapa juga Aku ajak kamu kesini?"

Uang yang Ibu kirimkan ke rekeningku sama sekali tidak pernah tersentuh, meskipun dari awal Aku tak pernah berniat untuk memakainya, tapi rasanya tidak mungkin juga menggunakan uang tabungan SMPku yang tak seberapa untuk membelikan Aya pakaian.

"Aji pilih gaun, atau yang kasual? Ahh bagaimana kalau celana Jean? Ah tapi Aku tidak suka yang terlalu ketat. Lagipula biasanya Aku juga selalu memakai pakaian longgar.

Hmm Jaket Denim? Sepertinya juga tidak cocok, bagaimana dengan kemeja dan rok?

Aji! Kamu kan yang memintaku untuk membeli baju! Setidaknya kasih saran dong!"

Aya merajuk seperti anak kecil dengan seragm SMA dan jaket bertudung telinga kelinci. Beberapa pengunjung mall menatap kami diam-diam, dan meski mereka berpura-pura Aku tahu kemana arah mata mereka memandang.

"Aji, Aku tahu kalau sekarang yang ada dipikiranmu itu kamu berharap agar Aku membeli gaun, kemeja dan rok. Tapi setidaknya cobalah untuk mengatakannya, menggunakan kekuatanku seperti ini terus menerus bisa-bisa membuat orang lain curiga."

lima buah tote bag berisi pakaian Aya bawa dengan riang, Ia tak membiarkanku membawa satu barang pun hanya karena Aku tak memberinya usul tentang pakaian apa yang harusnya dia beli. Uang di rekeningku berkurang satu digit nol, dan Aku berharap Ibu tak menyadarinya.

Karena Aku merasa tak mungkin pulang dengan barang-barang Aya dengan menaiki bus, setengah terpaksa Aku memanggil taksi setelah mengambil uang melalui ATM terdekat. Aya terus membuang wajahnya dariku dan terus melihat ke jendela selama perjalanan, bahkan saat pulang Ia tak menungguku untuk membayar taksi.

Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi padanya.

Setelah membayar taksi Aku pikir Aya pergi duluan karena Ia berniat untuk mengunciku sebelum Aku sempat masuk, tapi kutepis pikiran sesatku itu saat kulihat Aya mematung di depan pintu dengan wajah menghadap ke keset bertuliskan Selamat Datang.

"Ada apa Aya?"

Kubertanya pada Aya, berharap Ia tidak terdiam dan terus menatap Keset berwarna hijau yang telah ada semenjak rumah ini dibangun. Tapi saat Aku melihat keset itu, Aku sadar apa yang sekarang sedang diperhatikan oleh Aya.

"Aji, sepertinya kita punya tamu."

Sepasang sepatu berwarna hitam dengan hiasan logam berwarna keemasan berdiri di samping keset dengan angkuhnya, dan dari ukuran sepatunya, Aku benar-benar mengenal siapa pemilik sepatu hitam ini.

"Kau salah Aya, dia bukanlah tamu. Dialah pemilik rumah ini yang sebenarnya."

Setelah mengatur nafas dan menyiapkan mental, kubuka pintu rumah lalu berjalan menuju ruang tamu. Tempat dimana gadis itu sekarang berada.

"Aku Pulang..."

Pemandangan yang ada dihadapanku benar-benar bukanlah sesuatu yang kuharapkan, Joko sekali lagi dengan santainya membaca koran di atas sofa, sementara Lia yang baru saja menghidangkan makanan dan teh duduk di dekat gadis itu sambil mengobrol dengannya.

Melihat kedatanganku gadis itu tersenyum setengah terpaksa, Ia terlihat gugup dan di wajahnya terlukis banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan kepadaku.

Gadis dengan rambut berponi yang terduduk di atas sofa bersama Lia dan Joko adalah Ajeng, anak dari Orang yang menikahi Ibu. Ya tepat sekali, Ajeng adalah adik tiriku

...............................................................................................................................................................................................

"Ehm... Mengesampingkan orang-orang asing yang tinggal di rumah Kakak. Aku ingin menyampaikan pesan dari Ayah dan Ibu.

Liburan semester hari ini, Kakak harus pulang."

Aku sekarang duduk dihadapan Ajeng, terpisah oleh sebuah meja bersudut empat dengan teh, piring berisi kue dan juga vas dengan bunga plastik di dalamnya.

"Aku menolak! Lagipula kemana lagi Aku harus pulang? Tempat ini adalah satu-satunya rumah bagimu."

Ajeng menatapku setengah benci, Ia jauh-jauh datang dari asramanya hanya untuk meminta hal konyol yang jelas-jelas takkan kupenuhi. Ia pasti sangat berputus asa, karena pada dasarnya Ia sama denganku. Terjebak dalam sebuah keluarga dengan orangtua yang egois, Ibu yang terlalu takut untuk bertemu denganku dan juga Ayah yang tak mau sibuk-sibuk mengurus anak tirinya.

"Ngomong-ngomong Ajeng, rambutmu bertambah panjang ya?"

Aku pertama kali bertemu dengan Ajeng adalah saat orangtua kami liburan ke Bali. Mereka meninggalkan kami untuk pergi ke Bar di sebuah rumah makan berdua. Saat itu rambut Ajeng hanya sepanjang bahunya, sementara sekarang sudah memanjang sampai ke punggungnya.

Poni rambut yang menutupi dahi lebarnya tak banyak berubah, hanya menutupi sebagian alis matanya yang kini nyaris beradu karena kehilangan kesabaran.

"Jangan mengalihkan pembicaraan kakak, Aku yakin Ayah dan Ibu takkan peduli dengan orang-orang asing yang kini tinggal di rumahmu.

Karena pada dasarnya Ayah dan Ibu juga sudah berniat untuk menyerahkan kepemilikan rumah ini padamu, tapi setidaknya tak bisakah kau berterimakasih pada mereka dengan datang ke rumah mereka?"

Suara Ajeng tak sampai ke telingaku, saat ini ingatanku sedang mengalir. Kedatangannya membuatku ingat pada hari itu, ketika Ajeng menangis karena Ayah dan Ibu tak segera datang sementara Ia takut kepada orang asing sepertiku yang menemaninya.

Setelah beberapa lama, Ajeng berhenti menangis. Aku mengantarkannya ke hotel setelah memberi uang tip kepada pelayan. Aku yang memesan kamar terpisah dengannya berniat untuk kembali ke kamarku, tapi karena Ajeng terlalu takut akhirnya Aku terpaksa menemaninya sampai pagi hanya untuk menunggu Ayahnya yang datang setengah mabuk bersama Ibuku.

"Oi Kakak... Kakak melamun ya?"

"Tidak... Aku tidak melamun, lagipula sekeras apapun usahamu Aku tetap tak mau pulang.

Lagipula siapa juga orang yang ingin bertemu dengan orang tua tak bertanggung jawab seperti mereka."

Ajeng terdiam, kata-kataku sepertinya cukup menyakitinya. Ia menundukkan wajahnya dan berpura-pura meminum teh buatan Lia dengan perlahan, samar-samar Aku bisa mendengar Ia menghela nafasnya panjang, seakan mencoba untuk bersabar menghadapiku yang sangat keras kepala.

"Sudahlah kak, Aku lelah. Aku mungkin akan disini sampai Kakak mau pulang. Ngomong-ngomong, Apakah ada diantara gadis-gadis tadi yang memakai kamarku?"

Senyum sebal Ajeng terlukis di wajahnya, Adik tiriku satu-satunya itu memang pandai berpura-pura. Bahkan saat Ia ditinggal sendirian oleh Ayahnya untuk pergi liburan bersama Ibuku, Ia bercerita sambil tersenyum padaku selah tidak ada apa-apa.

Padahal Aku tahu dan sangat tahu, betapa bencinya Ia pada Ibuku yang telah merenggut sosok Ayah darinya.

Malam Sebelum JumatWhere stories live. Discover now