60 - Pagi Yang Terlambat Datang

10 0 0
                                    

Malam itu Aku bermimpi, Lia mendapatkan kekuatannya sebagai penerus Dewi Rara Kidul. Dengan kekuatannya Ia bisa menghancurkan setiap demit yang menyerangnya. Tapi entah kenapa, raut wajah Lia saat itu terlihat sangat menyedihkan. Seakan-akan Ia tidak menginginkan kekuatannya.

Kucoba membuka mataku meski gagal, kurasakan sedikit rasa pusing yang membuat kepalaku sedikit pening. Aku tidur terlalu nyenyak sampai tidak bisa mengingat apa yang terjadi di malam itu. Hidungku menyiup samar-samar bau kamboja putih, dan entah kenapa Aku merasa pipiku sebelah kiriku mati rasa. Aku tidak ingat kalau semalam Aku tidur di sofa, jadi itu berarti...

Sekali lagi kucoba untuk membuka kelopak mataku, dan beruntung kali ini berhasil. Cahaya putih menyilaukan langsung mendarat ke korna mataku dan membuat pupil mataku mengecil.

Matahari sudah meninggi, apakah itu berarti Aku terlambat sekolah? Kenapa Aya tidak membangunkanku?

Cahaya putih menyilaukan itu perlahan memudar, kucoba memfokuskan mataku dan menyadari ada sesuatu di depan tubuhku.

Seorang gadis kecil, dengan rambut panjang dan beberapa poni panjang halus yang menutupi wajahnya.

Wajah bulat bulan purnamanya tertidur dengan nyenyak bagaikan bayi, bibirnya yang terlihat seperti jeli merah muda terbuka sedikit dan memamerkan gigi-gigi kuaci di dalamnya.

Aroma kamboja tercium kuat dari helaan nafasnya, gadis kecil itu mendengkur seperti kucing. gaun musim panas yang baru saja beberapa hari lalu kubeli kini terpasang di tubuh kurus mungilnya.

Gadis kecil itu adalah Aya, entah bagaimana Aku dan Aya bisa tertidur di ruang kerjaku, berada di atas karpet tanpa selimut hangat di atas tubuh kami.

Dengan susah payah kugerakkan tanganku, mencoba menyentuh bahu Aya dan membangunkannya.

"Aya bangun... sudah pagi..."

Tak ada jawaban, kubiarkan diri kami seperti ini selama beberapa menit sampai kemudian kedua tangan Aya bergerak dan menggenggam erat kemeja putih panjangku. Entah sadar atau tidak, Aya mendekatkan tubuhnya dan menempelkan wajahnya pada dadaku.

"Oi... Aya!"

"Sssssh"

"Tidurlah lagi Aji! Kau masih lelah bukan? Maaf tidak membangunkanmu, sekarang sudah jam sembilan. Sudah sangat terlambat kalau Aji masih tetap ingin berangkat sekolah."

Aya mengangkat wajahnya, berusaha menatap wajahku dengan kedua bola mata hitamnya, tidak seperti wujud kuntilanknya yang kehilangan satu mata, Aya kini terlihat manis dengan kedua mata bulat hitamnya. Sebagian wajahnya tenggelam dalam tubuhku, dan hanya kedua matanya yang kini terlihat olehku.

"Kalau kau memang ingin membolos sekolah tak apa, kita pikirkan urusan itu lain kali. Jadi ada apa? Sepertinya kau bertingkah tidak biasanya."

Tangan Aya bergerak dan memegang kedua bahuku, Ia menatap kedua mataku dengan tatapan yang dalam. Seakan Ia ingin merobak kedua bola mataku dan menyelami dasar ingatanku.

"Aji... Apa yang kau inginkan dariku?"

Aya memulai semuanya dengan pertanyaan ambigunya, Aku tahu Ia takkan suka jika kukatakan padanya bahwa tidak ada satu hal pun yang kuinginkan darinya. Aya mungkin hanya membutuhkan sedikit perhatian. Semenjak kami melakukan kontrak resmi, Aya benar-benar membuang segalanya termasuk kesempatannya untuk menjadi manusia, hanya demi untukku.

"Bukankah Aku sudah pernah mengatakannya? Apa yang kuinginkan adalah agar Aya terus berada disisiku dan menemaniku."

"Benarkah hanya itu? Tidakkah kau menginginkan yang lainnya?"

Malam Sebelum JumatWhere stories live. Discover now