Kini, akhir pekan kembali tiba...

Tapi, akhir pekan ini terasa berbeda.

Sejak pagi, butiran salju pertama tahun ini turun perlahan, menyelimuti atap rumah, jalanan, hingga pepohonan dengan lapisan putih tipis. Udara dingin merayap masuk lewat celah jendela, membawa kesunyian khas musim dingin yang membuat segalanya terasa lebih pelan.

Siang ini, cahaya matahari musim dingin menembus tirai tipis berwarna putih di kamar Chanyeol. Tirai itu bergoyang pelan tertiup angin, menciptakan bayangan samar di dinding. Kamar itu terlihat rapi, terlalu rapi, seperti ruangan yang tidak lagi benar-benar ditinggali.

Chanyeol berdiri di depan cermin. Sweater putih membungkus tubuhnya dengan lembut, sementara mantel wol hitam dan syal abu-abu di lehernya memberi sentuhan hangat di tengah udara musim dingin yang menusuk. Sepasang sarung tangan kulit tergenggam di tangannya, melengkapi tampilannya yang rapi dan tenang. Wajahnya datar, kaku, seolah topeng tanpa emosi yang sulit ditembus.

Matanya menatap pantulan dirinya sendiri dengan sorot kosong, terdiam beberapa detik seakan menimbang sesuatu yang tidak terlihat. Keheningan itu hanya dipecahkan oleh suara detak jam di ruangan, menekankan rasa hampa yang menyelimuti dirinya.

Beberapa saat kemudian, Chanyeol menarik napas pelan sebelum akhirnya bergerak tanpa ragu, meraih kunci mobil yang tergeletak di meja lalu melangkah keluar dari kamar dengan langkah tenang namun pasti.

Di ruang tengah, Sandara sedang menyapu lantai dengan tenang. Saat mendongak, dia melihat putranya menuruni tangga dengan pakaian rapi. Dia tidak perlu bertanya atau menebak, sudah setahun berlalu, dan kebiasaan anaknya itu tidak pernah berubah.

Senyum tipis terukir di wajahnya ketika Chanyeol berhenti tepat di hadapannya.

"Mau makan dulu, sayang? Biar Mama siapin" tanya Sandara lembut.

Chanyeol menggeleng pelan.

"Chanyeol nggak lapar"

Senyum kecil kembali muncul di wajah Sandara, meski matanya tetap menyimpan rasa cemas yang tidak bisa dia sembunyikan. Perlahan, dia merapikan mantel Chanyeol yang sedikit bergeser, menyesuaikan syal abu-abu yang melingkar di lehernya, memastikan semuanya pas dan nyaman.

Dengan hati-hati, dia menangkup kedua pipi anaknya dengan tangan hangatnya, menatap mata Chanyeol sejenak seolah ingin menyalurkan keberanian dan kasih sayang dalam diam.

"Hati-hati ya, sayang... jangan pulang terlalu malam, hm?" ucap Sandara pelan, suaranya lembut namun sedikit bergetar karena kekhawatiran yang dia rasakan.

Chanyeol hanya mengangguk pelan, bibirnya menegang sedikit tapi tatapannya tetap tenang.
Setelah itu, Sandara melepaskan tangannya perlahan, mundur selangkah, dan menatap Chanyeol yang melangkah keluar rumah tanpa menoleh lagi.

Pintu tertutup perlahan di belakangnya, menimbulkan keheningan yang hampa namun hangat, seolah rumah itu menahan napas sejenak setelah kepergian anaknya.

Di dalam mobil, Chanyeol menatap lurus ke jalan di depannya. Tangannya mantap menggenggam kemudi, sementara matanya sesekali berpindah, mengamati jalan dengan cermat.

Dalam perjalanan, dia sempat berhenti di toko bunga langganannya, turun, dan memilih setangkai bunga segar dengan hati-hati. Setelah itu, dia kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju bukit.

Begitu sampai, Chanyeol langsung memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia membuka pintu perlahan dan menarik napas dalam-dalam. Udara dingin langsung menusuk ke kulitnya, membuat pipi dan ujung jarinya terasa kaku.

Jalan setapak di taman itu masih sama seperti biasa, sunyi, dengan rumput liar yang mulai tumbuh tinggi di kedua sisinya.

Tanpa banyak pikir, Chanyeol mulai melangkah menyusuri jalan setapak itu. Langkahnya pelan, tapi mantap, seolah ada magnet yang selalu menariknya menuju satu tempat disana.

CTRL + Love  •|| END ||•Where stories live. Discover now