Bagian 35: Pesta Debutante (3)

3.1K 249 35
                                    

Semilir angin malam menerpa wajah Moira kala Moira menatap hamparan gemerlap lampu-lampu di balkon istana utama.

Balkon adalah tempat khusus yang dibuat untuk anggota kerajaan, tidak ada satupun yang bisa mengaksesnya. Ini adalah tempat yang tepat untuk berbincang tentang berkat Moira dan rahasia kebenaran status Moira sebagai anak Hesper dengan Benjamin. Tidak ada satu pun orang yang bisa mengganggu mereka.

Kreett ...

Ketika mendengar derit pintu terbuka, Moira memutar tubuhnya. Tersenyum tipis untuk menyambut Benjamin, tetapi senyumnya langsung senyap ketika menemukan Hesper lah yang berdiri di ambang pintu. Kedua kaki jenjang Hesper yang mengenakan kain celana hitam melangkah mendekat.

Moira dapat merasakan seluruh atensinya jatuh pada derap langkah Hesper yang terus melaju dan terhenti di depan dirinya. Satu tangan Hesper bertumpu pada dinding batas balkon, sementara tatapannya berfokus pada Moira.

"Apa yang kau lakukan di sini, Princess?" Tanya Hesper sembari memasukkan kakinya di antara kedua pangkal paha Moira, menggoda Moira dengan lututnya.

"D-Daddy ..." Moira mengerjap sebentar, lalu tersenyum lebar. Kedua tangannya melingkar di leher Hesper dan menarik Hesper untuk mengecup bibirnya. Kaki Moira sedikit berjinjit untuk menyamai tinggi Hesper yang tengah merunduk, selagi satu tangan Hesper yang bebas kini merengkuh pinggang Moira.

Ketika Hesper ingin menyesap bibir Moira, Moira lebih dulu melepaskan pagutan bibir mereka. Tatapan sayu Moira menjadi hal yang pertama Hesper lihat ketika wajah mereka terpaut jarak.

Hesper tertawa kecil, "Apa itu yang kau sebut ciuman, Sayang? Kau harus berusaha lebih keras lagi."

Hesper mendekatkan wajahnya, menyambar bibir Moira lagi ---seperti orang yang kelaparan, Hesper menyesap bibir Moira. Beberapa kali dalam menit-menit yang begitu menenggelamkan, Hesper mengubah posisi wajahnya, untuk memperdalam pagutan bibir mereka.

Tangan Moira yang tadi melingkar di leher Hesper kini mencengkram bahu Hesper kala pagutan bibir mereka terlalu dalam dan mulai menyesakkan. Menyadari itu, Hesper menarik wajahnya, tersenyum kecil. Ibu jarinya mengusap bibir Moira yang kini basah dan lembab.

"Itu yang baru namanya ciuman, Princess." Hesper berujar, lalu mengangkat Moira duduk di atas dinding pembatas balkon, dan menipiskan jarak di antara mereka. "Jadi, jawab pertanyaan Daddy, apa yang kau lakukan di sini, Sayang?"

"Aku hanya bosan, Daddy. Menunggu Yang Mulia Putera Mahkota di tengah keramaian membuatku jenuh, jadi aku ke sini untuk menjernihkan pikiranku." Bola mata Moira membulat, "Bagaimana Daddy bisa tahu aku di sini?"

"Hanya intuisi." Jawab Hesper. "Mencarimu sudah menjadi keahlian Daddy saat ini."

Moira mengulas senyum tipis, meski dalam hatinya ia mulai ketar-ketir. Tidak ingin menerka-nerka apa maksud Hesper.

"Jadi ...," Hesper kembali bersuara, "... haruskah kita pulang sekarang, Princess?"

"Pulang?"

Hesper mengangguk, "Bukankah kau juga merasa bosan? Kita pulang sekarang."

"Tapi pestanya---"

Suara Moira tertahan kala Hesper melepaskan mantelnya dan memakaikannya ke kepala Moira.

"Kau pintar berakting, bukan?" Tanya Hesper.

"Berpura-pura lah sakit." Hesper lantas merengkuh Moira ke dalam gendongannya, membawanya di atas bahunya, membuat Moira segera memeluk leher Hesper.

"Jangan lepaskan mantel itu dari kepalamu, barang sedetik saja, Princess. Sisanya biar Daddy yang urus."

.

.

.

Suara tamparan terdengar menggema di penjuru lorong kala Benjamin baru saja keluar dari ruang peristirahatan. Sekilas Benjamin mengintip ke dalam ruangan, Adora tampak siap keluar dari sana, tetapi Benjamin menggelengkan kepalanya ---memberikan isyarat kalau dia baik-baik saja. Meski dengan raut khawatir, Adora terdiam, menunggu di dalam ruangan.

"Bukankah sudah Ibu bilang untuk berhenti berhubungan dengannya? Kau sudah memiliki Moira, Benjamin! Moira adalah pilihan yang terbaik untukmu!" Geram Thalia kepada anak semata wayangnya.

"Benjamin tidak menyukai Moira, Bu! Benjamin hanya mencintai Adora, Ibu yang paling tahu itu! Benjamin tidak bisa melepaskan Adora, Bu. Tidak akan pernah bisa melakukannya."

Thalia bersiap mengangkat tangannya, menampar Benjamin sekali lagi, tetapi begitu melihat tatapan mata Benjamin yang tidak gentar membuat Thalia mengurungkan kembali niatannya.

"Benjamin ..." Perlahan suara Thalia berubah menjadi halus seperti sedia kala, "... Ibu bukannya melarang hubungan kalian, tetapi setidaknya tahan hubungan kalian sampai pernikahan kau dengan Moira selesai dilakukan. Setelah itu, terserah kepadamu untuk menyimpannya sebagai selirmu atau bagaimana. Ibu hanya ingin kau melakukan pernikahan ini dengan sebaik mungkin. Baginda Raja berharap banyak melalui pernikahan ini, Benjamin. Jangan pernah kecewakan Baginda Raja!"

Benjamin terdiam, membuang mukanya. Membuat Thalia menghela napasnya ketika melihat Benjamin bersikap seperti itu. Kedua tangan Thalia mencengkram bahu Benjamin.

"Kau ingin menjadi raja di masa depan, bukan?" Tanya Thalia yang berhasil menarik atensi Benjamin. "Ini satu-satunya cara untukmu menjadi raja, Benjamin. Kau ingat kematian Karl, ayahmu, bukan? Bukankah kau sudah berjanji pada Ibu untuk membalaskan kematian ayahmu, Sayang?"

Melihat senyum tulus Thalia, dada Benjamin bergemuruh. Bagai berdiri di seutas tali yang rapuh, Benjamin tidak tahu kemana ia harus melangkah. Tidak bisa maju, juga tidak bisa mundur. Kemanapun ia pergi, pada akhirnya ia hanya terjatuh ke jurang yang begitu dalam.

"Benjamin ..."

Benjamin tersadar ketika Thalia meremas tangannya, membuat Benjamin lagi-lagi menjatuhkan perhatiannya pada sang ibu.

"Baiklah, Bu." Putus Benjamin.

"Terima kasih, Sayang." Thalia tersenyum, "Sekarang kita temui Moira. Kau harus meminta maaf kepadanya karena telah membuatnya terlalu lama menunggu."

"Baik, Bu."

Benjamin bersama Thalia berjalan kembali ke arah ballroom, tetapi belum sempat Benjamin dan Thalia menginjakkan kakinya di ballroom, Benjamin menemukan Hesper keluar dari arah balkon sambil membawa Moira dalam gendongannya.

Pandangan Benjamin terpaku pada Hesper yang berjalan dengan senyuman senang di bibirnya. Ketika mata mereka berdua bertemu pandang, Hesper melemparkan senyuman sinis kepada Benjamin. Tangan besar Hesper melingkar semakin erat pada kaki Moira yang berbalut gaun biru corak keemasan.

Sorot mata Hesper terang-terangan mengejek Benjamin yang hanya bisa terdiam menontoni Hesper yang pergi bersama Moira tanpa bisa berbuat apa-apa.

Melihat itu, Benjamin mulai merasa sesak di dalam dadanya. Air mata berusaha mendesak keluar dari pelupuk mata. Rasanya tidak begitu nyaman. Seperti ia telah kehilangan sesuatu yang berarti baginya, tapi apa?

***

100 votes dulu (penulis dalam mode preman karena butuh waktu istirahat).

skrg masuk ke dalam konflik, tapi sebelum itu kita bersenang-senang dulu dongg😋

GUILTY PLEASURE: VILLAIN DADDY [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang