STD. 49

181 14 19
                                    

"Tuan, Jo," panggil Bi Rumi yang mengetuk pintu kamar.

Johan yang sedang belajar pun memandang ke arah pintu. "Iya, kenapa, Bi?"

"Makan siang sudah selesai dibuat," ujar Bi Rumi.

"Letakkan saja seperti biasa, Bi. Akan aku makan nanti setelah tugas sekolahku selesai."

"Baiklah."

Bi Rumi pun pergi menjauhi kamar Johan dan kembali kepada aktivitas lainnya di rumah itu.

Saat tugasnya selesai, Johan pun segera turun ke lantai bawah untuk makan. Saat sedang makan, ia iseng-iseng membuka ponselnya. Wajahnya sedikit berkerut karena ada beberapa pesan dari Amel yang masuk tidak terbacanya saat ia belajar tadi.

   pesan terkirim.
(Ada apa? Aku lagi belajar)

(Oh, kirain kamu lagi ngapain tadi.)

(Hanya menyelesaikan tugas sekolah)

(Tugas siapa?)

(Tugas pak Yosep)

(Benarkah? Apa aku bisa lihat punyamu? Aku sangat pusing mengerjakannya sendirian)

(Tidak, tapi kalau kau ingin belajar, aku akan mengajarimu mata pelajaran yang tidak kau ketahui)

(Kalau mau besok aku akan ke perpustakaan, kita belajar di sana bersama.)

(Baiklah. Aku mau)

Setelah pesan terakhir itu, tidak ada lagi pesan masuk dari Amel.

Menutup ponselnya, Johan kembali fokus untuk menghabiskan makanannya. Sedangkan di tempat Amel, gadis itu tengah tersenyum-senyum menatap layar ponselnya.

"Sedikit demi sedikit, aku pasti bisa mendapatkan hati Johan. Lihat saja nanti," ucapnya percaya diri, tapi kesenangannya itu berakhir saat ia mendengar sebuah benda pecah dari dalam rumah. Segera ia pun menghampiri.

"Brengsek!" maki Arin setelah menepis semua barang dari atas meja hias berisi vas dan foto.

"Ma?" seru Amel yang kaget dan langsung mendekati Arin. "Ada apa, Ma? Mama kenapa?"

"ARGH! Pengacara brengsek!" cerca Arin yang kembali menghempas sebuah vas bunga.

"Ma! Sebenarnya ada apa sih? Mama kenapa? Cerita, Ma," sentak Amel yang menarik-narik tubuh Arin agar menghadapnya.

Melihat anaknya, seketika air mata Arin pun luruh jatuh dan ia pun terduduk di sofa. Amel pun semakin bingung, ia berusaha untuk menenangkan Arin dengan mengusap punggung sang ibu.

"Hancur, Mel. Semuanya hancur," cicit Arin yang menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.

Mengerutkan dahi binging, "Apanya yang hancur, Ma? Coba jelaskan, jangan membuatku bingung dan bertanya-tanya."

"Karir Mama hancur, Mel. Karir yang selama ini Mama jalankan dan bangun dengan susah payah seketika hancur dalam sekejap," lirih Arin.

"Ma-maksud, Mama?"

"Tadi, pengacara kita datang ke kantor bersama dengan kakakmu. Di ruangan Mama mereka membahas tentang masalah hak waris."

Surat Terakhir Delia ( on going )Where stories live. Discover now