STD. 44

263 11 0
                                    

"Ma ... Aku lelah, aku lapar. Bolehkah aku istirahat sebentar dan makan sedikit saja. Aku sudah tidak sanggup rasanya," melas Delia yang bersujud di hadapan Arin yang sedang membaca majalah di ruang tamu.

Tubuhnya benar-benar sudah lemas, bahkan suhu tubuhnya juga terus naik, membuat kepalanya semakin terasa pusing berkunang-kunang. Ditambah perutnya yang sudah sangat sakit karena lapar.

Dengan wajah datar Arin pun melirik Delia yang bak seperti gelandangan itu. Tersenyum sinis, Arin pun menutup majalahnya dan menoleh ke arah Delia.

"Memangnya pekerjaan kamu sudah selesai?"

Dengan badan gemetar, Delia pun menggeleng.

"Kalau sudah tau belum, kerjakan dong," ucapnya lembut tersenyum senang.

"Tapi, Ma. Aku sangat lapar. Aku mohon," pinta Delia bersujud dengan kedua tangannya menyatu, memohon penuh belas kasih dari Arin.

Melihat Delia yang seperti itu sungguh sebuah hiburan yang sangat menyenangkan. Tersenyum miring dengan tatapan liciknya, Arin pun terkikik.

"Baiklah, mumpung suasana hatiku lagi bagus ... Rini!" panggil Arin dengan pandangan yang terus menatap Delia.

"Berikan anak ini makanan sisa tadi pagi," ujar Arin. Mendengar itu, wajah sendu sedih Delia pun sedikit berseri.

"Tapi, Nya. Sarapan tadi pagi kan makanan yang Nyonya beli kemarin malam, dan itu sudah hampir basi," ujar Rini sopan.

"Kan hampir, belum basi. Nih anak juga pasti gak keberatan kok. Kan, Delia," cetusnya tersenyum licik. Dengan ragu, Delia pun menangguk.

"Tuh. Yang pentingkan bisa makan."

Lalu sebuah dering ponsel milik Arin pun berbunyi, segera ia meraih benda pipih itu dan melihat siapa yang menelpon. Mengetahui itu adalah telpon penting, ia pun melirik Delia yang memperhatikannya.

"Apa yang kau lihat? Lebih baik kau pergi dari hadapanku, sebelum apa yang aku ucapkan tadi batal," sarkas Arin sinis.

Mengangguk gugup, Delia pun berusaha untuk segera berdiri. Namun, karena badannya yang sudah sangat lemah, ia tidak sanggup menopang dirinya hingga terjatuh. Melihat itu dengan sigap, Rini pun membantu memapah Delia menuju dapur.

Sampainya di dapur, Rini pun meletakkan Delia duduk lesehan bersandar pada dinding. Sangat terlihat jelas wajah lelah yang begitu pucat. Segera wanita itu mengambilkan makanan yang sebenarnya sudah ingin ia buang.

'Aku sebenarnya tidak tega, makanan ini sudah hampir basi,' batinnya yang menyicipi sedikit makanan itu menggunakan jarinya, sembari melihat ke arah Delia yang terkulai.

'Aku ingin memasak yang baru, tapi ...,' ucapannya terhenti sembari menoleh ke arah Arin yang dengan teleponan. Lalu ia tersentak kaget karena Delia menyentuh lengannya.

"N-Non ...," kikuk Rini, sedangkan Delia dengan mata sayunya menatap wadah makanan yang dipegang oleh Rini.

"Ini makanannya?" tanya Delia dengan bahasa isyarat.

"Eh, emm ... I-iya. Tapi, Non, ini makanannya ...."

Memandang makanan tersebut, Delia pun tahu jika ada yang gak beres.

"Ini basi, Non," ucap Rini yang mengerakkan sebelah tangannya.

Mata sayu itu pun menatap nanar ke arah Rini, lalu beralih pada sepiring makanan tersebut. Lalu setitik air matanya pun terjatuh.

"tidak ada yang lain?" Rini pun menggeleng.

"Ada apa ini?!" sentak Arin tiba-tiba, membuat Rini tersentak kaget. Begitu pun dengan Delia yang refleks mengambil makanan yang dipegang oleh Rini.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang