STD. 6

1.1K 47 41
                                    

Jika sudah mampir, jangan lupa vomennya ya ....






Apakah semua anak yang mempunyai kekurangan memiliki nasib yang sama?

Sepintas pertanyaan itu muncul di benaknya. Pertanyaan yang belum bisa  ia jawab ataupun ia temukan jawabannya untuk saat ini.

"Hei, kenapa kau diam saja? Apakah kau tidak ingin berteman denganku?" dengan cepat Delia pun menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin anak lelaki itu salah paham akan diamnya ia.

"Jadi, kau mau berteman denganku?" dan Delia pun mengangguk cepat dengan seulas senyum yang mengambang di wajahnya.

"Sungguh?! Kalau begitu kita sekarang seorang teman. Untuk saat ini, besok dan selamanya."

Anak lelaki itupun mengangkat tangan dan mengacungkan jari kelingkingnya.

"Sekarang kita sudah berteman, dan kau adalah teman pertamaku. Aku harap kau tidak akan pergi dan meninggalkanku, apalagi sampai membenciku."

"Ayo berjanji untuk selalu bersama selamanya. Dengan begini, tidak akan ada yang memisahkan kita."

Dengan tersenyum senang, Delia pun menautkan jari kelingkingnya pada jari anak laki-laki itu. Yang menandakan kalau ia setuju dan menerima perjanjian itu. Membuat anak lelaki itu juga tersenyum bahagia.

Senang sudah pasti. Karena baik itu Delia maupun anak lelaki itu sudah mendapatkan seorang teman yang akan mengusir rasa kesepian dalam diri mereka walau hanya sementara.

Sementara untuk Delia.

***

Di dapur, Rita yang baru saja selesai menjemur pakaian bertemu dengan Bik Ana. Seorang kepala asisten rumah tangga dan tukang juru masak di rumah itu.

Membuka kulkas dan mengambil air dingin, lalu ia tuangkan di dalam sebuah gelas dan kemudian meminumnya hingga tandas.

"Haus bener kayaknya?" tanya Bik Ana sembari mencuci sayuran yang hendak dipotong dan dimasak.

"Habis nyuci, Bik." dan Bik Ana hanya ber'oh' ria saja. Dan pergi meninggalkannya sendirian.

Rita yang duduk di kursi dapur pun, teringat akan Delia yang belum pulang. Dilihatnya waktu di jam dinding, dan ternyata sudah tengah hari.

"Gak biasanya, Non Delia belum pulang jam segini?" gumam Rita. "Apa aku cari saja, ya?"

Saat sedang berpikir, Bik Ana datang kembali sembari membawa dua piring yang masih berisi makanan dengan mulut yang terus ngedumel.

"Ini, yo. Dibuatkan makanan bukannya dimakan, malah di anggurin. Kan sayang, mubazir." dumel Bik Ana dengan logat jawanya.

Rita yang mendengar itupun langsung menoleh kearah Bik Ana. "Ada apa, Bik? Kok ngedumel wae?"

"Ini loh. Kan mubazir jadinya kalau ndak dimakan. Mana banyak lagi."

"Gimana mau dimakan? Baru juga beberapa suap, orangnya sudah pada kabur," ucap Rita yang membuat Bik Ana menaikkan sebelah alisnya.

"Kabur gimana, maksudnya?"

"Biasalah, Bik. Masalah kecil yang di perbasar-besarkan," jawab Rita yang langsung di mengerti oleh Bik Ana.

Surat Terakhir Delia ( on going )Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu