STD. 28

479 25 8
                                    

Tidak terima dengan pembelaan yang dilakukan oleh Delia, dan ditambah lagi oleh Dival yang terus menekan dan menghinanya.

Dengan kasar, dia pun menarik tangan Delia. "Lo apa-apaan sih?!" berangnya.

"Gue gak butuh pembelaan dari lo!"

Sedangkan Delia, hanya meringis dan mencoba untuk melepaskan cengkeraman Amel.

Terdengar jelas erangan dari gadis tersebut untuk meminta dilepaskan. "A u a u ... kalau gak bisa ngomong, diam." bentak Amel yang membuat Delia langsung terdiam.

Saat Dival ingin melangkah untuk menolong Delia, Johan terlebih dahulu mendekati Amel. Hingga mereka berhadapan kembali secara langsung.

"Lepaskan dia," ucapnya dengan wajah datarnya yang menatap tajam dan tidak suka pada gadis itu.

"Lah. Kok tiba-tiba dia udah ada di sana? Kapan geraknya?" tanya Jeno yang melihat ke tempat duduk Johan berada sebelumnya.

"Sudah. Kita lihat saja, mumpung gratis," seru Stefan yang kembali melihat perdebatan itu.

Melihat pemuda yang dihadapannya saat ini, membuat Amel sedikit tertegun. Meskipun tidak dipungkiri bahwa dia masih merasa kesal.

"Gue bilang, lepaskan." titah Johan lagi.

"Sudahlah, Mel. Lepaskan saja. Lo gak liat, kondisi disini sudah tidak kondusif lagi?" bisik Marta yang sudah tegang sedari tadi.

"Ho'oh. Apa lagi lo harus jaga sikap juga. Lo gak mau kan, cowok yang lo suka itu benci sama lo?" timpal Keyla yang juga berbisik.

Merasa perkataan para temannya ada benarnya, dengan cuek ia pun menatap orang-orang yang berada dihadapannya. Dan kemudian atensinya berhenti pada Delia yang masih meringis, berusaha membuka cengkeraman tangannya.

"Urusan kita belum selesai. Lihat saja waktu di rumah." bisiknya yang membuat raut wajah gadis itu seketika pucat ketakutan. Dan setelah itu, Amel pun mendorong Delia, hingga jatuh di dekapan Johan.

"Lain kali, gak usah sok membela. Gue gak butuh pertolongan, lo. Paham." herdiknya yang melenggang pergi, sembari menginjak roti milik Delia yang masih berserak di lantai kantin.

Melihat makanannya diinjak-injak, dengan berat hati dan badan yang sedikit bergetar, Delia pun mengambil roti tersebut.

Matanya kembali berkaca-kaca. Hatinya kembali sakit dan sesak didadanya tidak bisa lagi ditutupi, dan tumpahlah deraian air mata yang kembali mengaliri pipinya.

"Del," panggil Linda.

Bukannya menjawab, Delia justru berlari sembari menangis meninggalkan tempat itu dengan rotinya yang masih digenggamnya.

Di rooftop sekolah, Delia duduk di kursi panjang yang memang sengaja disediakan oleh pihak sekolah. Dengan kepala yang tertunduk, ia pun menatap potongan roti miliknya yang sudah gepeng dan selai yang bertabur keluar mengenai bungkusnya.

Padahal itu adalah satu-satunya makanan yang saat ini ia punya. Ingin membeli lagi tapi uangnya sudah habis. Sedangkan perutnya mulai terasa perih karena rasa lapar yang menerpanya.

Matanya kembali berembun sembari terus melihat roti yang sudah tidak layak konsumsi itu.

'Kenapa selalu begini?' batinnya lirih.

Saat sebutir air jatuh dari ujung matanya, segera ia pun mengelapnya. Perutnya yang sedari tadi berbunyi membuatnya tidak lagi bisa menahan rasa laparnya itu.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia pun mulai membuka bungkus roti tersebut. Saat dia ingin memakannya, seseorang dengan teganya menepuk tangannya. Hingga membuat roti tersebut terjatuh.

Surat Terakhir Delia ( on going )Where stories live. Discover now