STD. 32

525 23 0
                                    

Malam yang hening, hanya terdengar suara hewan dan serangga malam yang saling bersautan. Begitu tenang dan damai, tanpa gangguan ataupun keributan dari kendaraan yang berlalu lalang. Sangat nyaman bagi Johan untuk belajar, mengejar mata pelajaran yang pastinya sedikit berbeda dengannya saat berada di Amerika.

Saat sedang fokus belajar, dering handphone miliknya berbunyi. Awalnya ia acuhkan, akan tetapi ponsel miliknya itu terus saja bersuara. Kesal karena kenyamanannya telah diganggu, Johan pun meraih benda pipih tersebut dan melihat siapa yang menelponnya.

"Ada apa, Ma?" ketusnya saat mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa lama sekali kamu mengangkatnya, sayang?" tanya Nissa sang mama di seberang sana, dengan jari tangan yang terus bergelia di keyboard laptop.

"Johan lagi belajar, Ma," jawabnya dengan nada dingin.

"Oh ... kamu sudah makan siang?" tanya Nissa lagi, yang membuat Johan sedikit memijat keningnya pelan.

"Ma ... disini sudah malam, berbeda dengan di sana."

"Astagfirullah," ucap Nissa yang menepuk pelan dahinya. "Mama lupa, sorry my dear." dan Johan pun membalas dengan dehaman.

"Tapi kamu sudah makan, kan?"

"Iya, Ma. Sudah."

"Baguslah ... oh iya, bagaimana dengan sekolahmu di sana? Apakah betah?"

"Ya, begitulah," jawab Johan sembari memainkan pena miliknya diatas meja.

"Aku baru sehari tinggal disini lagi setelah sekian tahun tidak kembali. Pastinya membutuhkan adaptasi untuk lingkungan sekitarku lagi."

Menghela nafas, Nissa pun menutup laptopnya, berjalan kearah tembok kaca dan melihat kearah luar. "I am sorry dear. Seharusnya dulu setelah pengobatanmu selesai, Mama ingin sekali membawamu kembali ke Indonesia. But your grandfather forbade mama. And you also know the reason?"

"Ya, i know." jawab Johan singkat, dengan nada suara yang masih saja dingin.

Sedikit sesak rasanya mendapat perlakuan sikap dingin dari putra sulungnya itu. Meskipun sudah tinggal bersama selama enam belas tahun, tetap saja dirinya tidak terbiasa dengan hal itu.

Terkadang ia berpikir, apa yang harus dilakukan agar putranya itu berubah menjadi pemuda yang hangat dan ceria? Berbagai cara sudah ia lakukan, semua juga sudah ia serahkan. Akan tetapi tetap saja tidak ada yang mampu mengubah kepribadian dari anaknya itu.

Hingga suatu hari tanpa diduga dan disangka, Johan meminta kepada dirinya untuk kembali ke-Indonesia untuk meneruskan sekolahnya di sana.

Awalnya ia ragu untuk memberi izin. Akan tetapi setelah melihat raut wajah yang sedikit berbeda dari putranya itu, Nissa pun mengiyakan permintaan tersebut. Dan disaat itulah untuk sekian lama, ia bisa kembali melihat senyum Johan yang telah lama hilang. Meskipun tidak lebar, tapi dia sadar bahwa inilah yang selama ini diinginkan oleh anaknya. Bukan harta atau benda, melainkan pulang ke tanah air kelahirannya.

Berat memang melepas anak satu-satunya untuk tinggal sendiri di sana. Tapi dia juga berharap, tinggalnya Johan di sana mampu merubah kepribadiannya menjadi hangat. Seperti apa yang diinginkan olehnya.

"Johan," panggilnya pelan.

"hemm."

"Mungkin pertengahan tahun ini, Mama akan menyusul kamu di sana."

"Maksudnya?" tanya Johan yang mengerutkan kedua keningnya.

"Ya Mama tinggal di sana, bareng kamu."

"Are you serious? Then, how is Mama's job? And grandpa?"

"Don't worry, Mama can arrange that." ucap Nissa meyakinkan.

"Terserah Mama saja, selagi itu tidak mengganggu kehidupanku disini."

"It's oke, no problem my dear. Oh yeah, what about Linda's family? Have you met them?"

"Untuk Linda-nya sih sudah dan dia baik-baik saja, tapi kalau om dan tante belum. Mungkin lain kali."

Nissa pun manggut-manggut. "Jika bertemu, Mama titip salam untuk mereka sekeluarga ya?"

"Ya, Mam."

"Makan yang teratur, jangan suka begadang, teliti lah dalam memilih teman. Dan jauhi pergaulan bebas." peringat Nissa memberitahu. Karena bagaimana pun juga ia tidak ingin anaknya terjerumus kejalan yang salah dan menyimpang.

"Ya, Mam. Don't worry."

Mendengar jawaban Johan, ia pun tersenyum. Karena ia percaya sepenuhnya dengan anaknya itu.

"Sudah ya, Ma. Aku ingin beristirahat, besok masih harus masuk sekolah," ucap Johan.

"Yes dear, good night and sweet dreams."

Setelah mengiyakan ucapan dari sang Mama, Johan pun mematikan sambungan ponselnya dan meletakkannya sembarang di atas meja belajarnya.

Menghela nafas panjang, Johan pun menundukkan pandangannya dengan tangan yang menompang kepalanya dan sikunya di atas meja.

Rasanya sangat kacau dan lelah. Sejenak ia memejamkan kedua matanya, dan tanpa diduga sosok Delia muncul dibenaknya. Mencoba menepis bayangan tersebut, tapi malah semakin menjadi dan justru dirinya dibuat penasaran dengan sosok gadis tersebut.

Merasa sedikit pusing, Johan pun memilih untuk mengakhiri aktivitas belajarnya. Menutup dan menyusun kembali bukunya dengan rapi, setelahnya ia pun memutuskan untuk rebahan diatas kasur.

Baru saja memejamkan kedua matanya, dirinya kembali mengingat sosok Delia saat berada di rooftop sekolah. Gadis berparas cantik dengan tangan yang halus, dingin dan lembut.

Johan pun memegang pipinya yang telah dipegang oleh Delia sebelumnya. Sentuhan yang terasa familiar, tapi apakah itu mungkin 'dia?'

Ditambah dengan ekspresi dari gadis itu yang bahagia dan juga terharu akan suatu hal. Membuatnya semakin bingung dan penasaran akan gadis tersebut.

"Hah ... ada apa sebenarnya? Kenapa aku begitu penasaran dengan gadis itu?" gumamnya yang sedikit frustasi karena memikirkan hal tersebut.

Dival yang baru saja selesai mandi setelah ber-GYM malam, keluar dari Bathroom dengan menggunakan celana pendek, kaos berwarna hitam dan handuk yang ia gosokan di kepalanya yang basah.

Berdiri di depan cermin, pemuda itupun menggunakan hair dryer untuk mempercepat kering rambut miliknya. Sembari bersenandung, ia pun menatap kearah cermin. "Ganteng banget gue, ciaa," beonya yang memuji diri sendiri di depan cermin.

"Masuk top nominal cowok terganteng bisa nih," kelakarnya dengan wajah yang dibuat sok cool, sembari menunjuk kearah cermin dimana dirinya terpantul.

Setelah melakukan hal yang menurutnya keren itu, Dival pun beranjak dari sana dan duduk dipinggir kasur. Meraih benda pipih kesayangannya hanya untuk sekedar melihat, apakah ada notifikasi yang masuk.

Dan benar saja, saat dilihat sudah ada sepuluh panggilan tidak terjawab dan beberapa chat Whatsapp. Akan tetapi, dari banyaknya pesan yang masuk hanya satu yang menarik perhatian Dival.

Dibukanya isi pesan tersebut, saat ia lihat seketika mimik wajahnya pun berubah menjadi bringas. Tangannya mengepal kuat dengan rahang yang sudah mengeras.

Tanpa babibu lagi, Dival pun segera berdiri, mengganti pakaiannya dan berlari menuju sepeda motornya berada. Tidak perduli dengan cuaca yang masih gerimis dan larangan dari kedua orang tuanya, Dival tetap saja melajukan kendaraannya membelah jalanan dan juga hujan yang masih menerpa.

Surat Terakhir Delia ( on going )Where stories live. Discover now