STD. 19

630 32 2
                                    

Seorang pemuda baru saja tiba di salah satu bandara di ibukota. Dari Amerika ke Indonesia bukanlah jarak yang dekat dan waktu yang singkat, dan itu pastinya cukup menguras stamina juga karena perjalanan yang cukup jauh.

"JOHANN! MY MALE COUSIN!" jerit seorang gadis remaja saat ia keluar dari latar bandara.

Benar, itu adalah dia. Johan Anggara Kusuma, Pria kecil yang sudah pergi selama bertahun-tahun kini kembali lagi. Sudah pastinya dengan tampilan yang sangat berbeda.

"Linda?" cicitnya yang menoleh pada gadis yang memanggilnya tadi.

Linda pun berlari dan kemudian memeluk Johan dengan erat. "Akhirnya, setelah sekian tahun lo balik juga ke Indonesia. Gua kangen tahu, gak," cetus Linda yang melepas pelukannya.

"Lo kok ada di sini? Sama siapa lo?" tanya Johan yang menaikkan sebelah alisnya.

"Sama Dival."

"Hai bro," ucap Dival dengan tos gaya laki-laki. "Gua kira lo bakalan menetap disana dan jadi orang bule?"

"Gak. Bagaimanapun juga, ini kan negara tempat kelahiran gua," jawab Johan sedikit dingin.

"Asik. Ini nih, baru bestie gua," seru Dival yang merangkul leher Johan.

"Bestie sih bestie, tapi bisa gak sikap lo yang dingin itu diubah sedikit. Lo itu udah kek beruang kutub, tahu gak," seru Linda pada Johan.

"Terus?"

"Belok kanan, belok kiri, terus masuk jurang." ketus Linda sewot. Sedangkan Johan, ia hanya ber'oh ria saja.

"Gini amat ya, punya saudara kulkas berjalan," gerutu Linda bergumam yang ditertawakan oleh Dival.

"Hehe, lo kayak gak tahu dia saja, Lin?"

"Yah ... Johan Anggara Kusuma, si pria kulkas berjalan sepuluh pintu," jawab Linda malas.

"Banyak amat tuh pintu?"

"Bodo! Dah ah, gua mau balik. Nanti telat sekolah," ketus Linda yang berjalan duluan meninggalkan kedua pemuda itu.

"Ikut," beo Johan, membuat langkah Linda terhenti dan berbalik arah. "Lo bilang apa tadi?"

"Eum, tidak jadi."

"Dia tadi bilang mau ikut lo," cetus Dival yang mendapat tarapan tajam Johan.

"Oh, ya udah. Ayo." dan Johan menggelengkan kepalanya pelan.

"Tidak. Aku akan pergi sendiri. Lagi pula, ada tempat yang harus aku datangi terlebih dahulu."

"Emang lo gak capek apa, Jo? Datang jauh dari Amerika, terus sampai sini lo langsung masuk sekolah? Mending lo istirahat saja dulu," tutur Dival yang memegang pundak Johan.

"Tidak," singkat, padat, dan jelas jawabnya.

"Terserah lo dah," cetus Dival dengan nada sedikit kesal karna akan dinginnya sahabatnya itu.

Setelah itu mereka bertiga pun keluar dari bandara menuju parkiran, mengambil mobil dan kemudian pulang kerumah dengan Dival yang mengantar Linda duluan kerumahnya.

"Lo gak mau singgah dulu, Jo? Ortu gua mau ketemu sama lo?" tanya Linda yang sudah di luar mobil.

"Lain kali saja. Aku harus berbenah dan memberaskan rumahku dulu. Titipkan saja salamku untuk mereka," terangnya yang tersenyum tipis.

"Hem ... iya deh," saut Linda yabg membalas senyum pemuda itu. "Tapi lain kali lo harus menginap ya?" dan Johan pun mengangguk.

"Ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa lagi di sekolah," ucapnya yang melambai tangan.

"Males, bosen gua lihat muka lo tiap hari," cetus Dival yang membuat gadis itu berwajah datar.

"Dih, siapa juga yang mau lihat muka lo? Gak ada kali. Gua juga udah bosen banget liat muka lo yang ngeselin itu." sinis Linda yang bersedekap dada.

"Masa?"

"Emm."

"Tapi gini-gini lo suka sama gua 'kan?"

"Dih, geer." ketusnya yang berpaling muka, dengan perasaan yang tidak karuan.

"Dan semoga saja itu tidak," batin Linda sembari mengusap sebelah lengannya.

"Ck. Kalau begitu kita cabut dulu ye, mak lampir. Babay," cetus Dival yang membuyarkan lamunannya.

"Hem, ya _ lo panggil gua apa tadi? Mak lampir?" sarkas Linda yang kemudian memukuli lengan pemuda itu.

"Lin, Linda sudah. Ampun, gua cuma bercanda," pinta Dival yang meringis.

"Mau sampai kapan kalian terus begitu? Kalau masih berlanjut, lebih baik aku naik taksi saja," cetus Johan yang merasa bosan dan jenuh. Ia sama sekali tidak tertarik akan apa yang kedua temannya itu lakukan. Yang ia inginkan hanyalah untuk segera bertemu dengan sahabat masa kecilnya.

Mendengar itupun segera Linda memberhentikan aksinya dari memukul Dival.

"Huh. Ya sudah, cepat pergi sana." dengus Linda yang masih merasa kesal. Dan kemudian ia pun masuk kedalam rumahnya.

"Sakit?" tanya Johan melirik Dival yang meringis kesakitan.

"Gak." ketusnya "Ya iyalah sakit. Pakai tanya lagi," sambung batinnya.

"Oh," seru Johan cuek.

"Cuma itu? Oh doang?"

"Pengen deh rasanya gua ngelempar lo ke jurang, Jo. Sumpah."

"Berani?" tanya Johan yang melirik dari sudut matanya. Dan Dival pun sejenak terdiam. Diliriknya pemuda dingin itu dari ujung matanya.

"Kalau gua gak berani jangan panggil nama gua Dival si MK," cetusnya dengan nada datar.

Mendengar itu Johan hanya memutar bola matanya malas, pandangannya pun beralih kearah jendela dan melihat keluar mobil.

"Tapi tenang saja, gua gak akan lakukan itu ke elo kok. Kan lo sahabat gua," sambungnya yang hanya mendapat dehaman dari Johan.

Dival pun memutar matanya jengah, setelah itu ia pun menghidupkan mobilnya dan mengantar Johan kerumahnya.

Sampai di rumah Johan, Dival tidak terus masuk melainkan ia langsung pulang kerumahnya untuk mempersiapkan keperluan sekolahnya.

"Selamat datang kembali tuan muda, Johan," ucap seorang wanita yang  menyambutnya.

"Bik Rumi? Aku pikir anda sudah tidak berkerja disini lagi?" cetus Johan saat bertemu dengan Rumi, si kepala asisten rumah tangga di keluarganya.

"Tidak, Tuan. Seperti yang anda lihat."

Pemuda itupun hanya mengangguk pelan dan setelahnya beranjak meninggalkan Rumi sembari menenteng koper miliknya.

"Biar saya bantu, Tuan," seru Rumi yang ditolak olehnya.

"Tidak perlu. Pastinya bik Rumi hari ini sangat lelah Karna sudah membereskan rumah sendirian. Istirahatlah."

Setelah mengatakan hal itu, Johan pun mulai melangkah pergi. Menaiki anak tangga hingga kelantai dua, kamarnya berada.

Sampai didalam kamar, ia pun segera menghempaskan tubuhnya di atas king size miliknya.

Dilihatnya sekeliling kamarnya yang sudah ia tinggalkan selama bertahun-tahun itu.

"Jadi, begini rupanya bentuk kamarku," gumamnya yang terus memperhatikan.

Kamar yang bernuansa warna hitam dan abu-abu, ditambah dengan artefak hiasan yang tersusun rapi. Menambah kesan elegan kamar tersebut.

Johan pun menghela nafas, dan kemudian memejamkan matanya. Didalam pikirannya saat ini hanyalah tentang sahabat masa kecilnya saja. Ia sangat tidak sabar untuk bertemu dengan sahabatnya itu.

"Tidak sabar rasanya aku untuk lekas berjumpa dengannya," gumamnya sembari menatap plafon kamarnya.

"Aku harap, kita akan saling mengenal saat bertemu lagi. Dan aku harap janji yang sempat tertunda itu bisa kembali terjalin. Aku merindukanmu, sangat rindu."

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang