STD. 48

170 23 103
                                    

Duduk termenung menatap Delia yang belum sadar, pikiran Naya pun menerawang ke masa di mana ia pernah menjahili bahkan menyakiti gadis itu.

Wajah cantik yang pucat dan penuh luka itu terus dipandangnya, hingga tidak terasa setitik air mata lolos begitu saja dari pelupuk matanya.

"Gue gak nyangka kalau Amel bisa setega itu pada lo, Del. Dan bodohnya gua juga ikutan waktu dia nge-bully elo," cicitnya penuh penyesalan.

"Maaf," lirihnya tertunduk penuh penyesalan memegang tangan yang terpasang infus itu.

Lalu ia sedikit dikagetkan oleh sebuah sentuhan di bahunya, segera ia menoleh dan mendapati Arnold yang menatapnya dingin.

"Ka-Kak." Naya langsung berdiri tapi tidak berani menatap wajah Arnold yang sekilas saat ia lihat begitu kacau.

Wajah kusut dengan perasaan kacau itu pun menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajahnya dengan sebelah lengan.

Naya yang merasa canggung hanya berdiri dan melihat pemuda di hadapannya terdiam tanpa bergeming.

"Kamu," ucap Arnold tiba-tiba, membuat Naya sedikit terlonjak dan mengangkat kepalanya.

Menggeser sedikit lengannya, Arnold pun melirik Naya dengan sebelah mata. "Apa kamu tahu, tentang Amel dan kejahatannya?"

Mendengar itu, jantung Naya berdegup sedikit kencang. Ia menunduk sembari meremas ujung pakaiannya.

Melihat tingkah perempuan di hadapannya, Arnold langsung paham dan kembali menutup ke dua matanya dengan lengan. Terdengar jelas helaan nafas yang begitu panjang dan berat dari pemuda itu.

"A, aku minta maaf, Kak," ucap Naya yang sebenarnya sudah sangat takut untuk berhadapan langsung dengan Arnold.

"Untuk apa?" tanya Arnold tanpa bergeming.

"Untuk ...." gelisah Naya yang takut kalau pemuda di hadapannya itu marah padanya.

"Sebenarnya, a-aku tau semua tentang perbuatan Amel pada Delia yang suka merundung Delia dan kejahatan lainnya," cicit Naya menunduk. "Termasuk aku dan yang lain juga ikut alam aksi itu."

Arnold yang terdiam pun seketika langsung menatap tajam ke arah Naya. Gadis itu langsung menyatukan kedua tangannya. "Maaf," ucapnya lirih.

"Aku sungguh menyesal setelah melihat keadaan Delia sekarang, maaf," ucap tulus Naya yang menyesali perbuatannya.

Menghela nafas kasar, "Jangan meminta maaf padaku, minta maaflah pada Delia," cetus Arnold dingin, dan Naya mengangguk.

"Tapi kalau untuk yang di rumah aku sama sekali tidak tahu," ucapnya cepat. "Aku pikir Delia hanya mendapat perlakuan itu di sekolah saja, aku sungguh tidak tahu kalau Amel akan melakukan hal yang lebih parah lagi."

Sejenak ruangan menjadi sunyi, tidak ada yang berbicara sampai akhirnya Naya mendengar suara tangisan kecil lirih yang berasal dari Arnold. Meskipun wajahnya ia tutup dengan lengannya, terlihat jelas badan pemuda itu bergetar seiring isakan yang terdengar.

Ingin mendekat untuk menenangkan, tapi niat itu langsung diurungkan oleh Naya. Ia tahu kalau saat ini pemuda itu sedang dalam keadaan yang kacau.

***

Dua hari berlalu begitu saja, Dival dan gengnya kini sedang berkumpul di basecame tempat biasa mereka bermain.

"Hai, Bro," sapa Jeno yang memberi salam dengan gaya mereka.

"Lama banget lo, No?" tanya Randa yang mengelap keringatnya setelah berolah raga.

"Hujan, coy," jawab Jeno sembari melepas jaket kulitnya yang basah.

"Cih, sama air aja takut," ledek Stefan sembari mengangkat barbel.

"Gua bukan takut, emang gua bawanya pelan saja. Taukan rasanya ditampar air hujan kalau lagi ngebut?"

"Emang lo gak pakek helm?" seru Lakki.

"Dipinjam adik gua."

Duduk di samping Lakki, Jeno pun melihat Dival yang tengah beradu tinju dengan samsak yang menjadi bulan-bulanannya.

"Dival kenapa?" tanya Jeno yang merasa jika pemuda itu sedikit aneh dan berbeda malam itu.

"Gak tau," jawab Randa duduk di kursi hadapannya.

"Sudah dua hari ini mood Dival kayaknya gak bagus gitu."

"Kalian gak coba tanya alasannya kenapa? Gak biasanya loh."

"Gua udah coba tanya, tapi no respons," seru Randa. "Gua sendiri juga gak tau kenapa tuh anak."

Stefan yang sedari tadi mendengarkan meletakkan barbelnya dan menoleh ke arah Dival yang seolah menggila di depan samsak.

"Apa mungkin karena ...?" batinnya yang sepertinya mengetahui sesuatu namun enggan diutarakan.

"Div," panggil Jeno saat melihat pemuda itu berhenti dari kegiatannya.

Mengambil minuman energi miliknya, Dival pun berjalan ke arah kumpulan teman-temannya.

"Ada apa?" tanyanya yang datar sembari minum.

"Oh, gak. Kita cuma mau memastikan aja, lo gak lagi dalam masalahkan? Soalnya mood lo kayak buruk gitu?" ucap Jeno mewakili.

Sembari minum Dival pun tersenyum miring, meletakkan botol minumannya dan mengelap keringatnya dengan handuk kecil.

Berdecih. "Ayolah, Val. Kalau ada masalah itu cerita. Apa fungsinya teman-teman lo yang banyak ini kalau lo gak mau sharing masalah lo itu," cetus Lakki sedikit kesal karena Dival yang hanya diam.

"Gak biasanya lo kayak gini, Val," ujar Randa. "Apakah masalah geng lain? Atau masalah keluarga?"

Dival tetap diam, ia duduk mengatur nafas sambil sesekali minum minumannya. Matanya yang dingin namun tegas sesekali melirik teman-temannya yang menatap dirinya.

"Gua gak ada masalah apapun, baik geng atau keluarga. Gua emang lagi gak mood aja."

"Bad mood karena gak ada dia?" ujar Stefan tiba-tiba, sembari mengambil minumannya. Mendengar itu, mata tajam itu menoleh dan menelisik pemuda tersebuk.

"Maksud lo apa, Fan?" tanya Jeno.

Stefan yang melihat raut wajah serius Dival dari ujung matanya pun tersenyum tipis. Ia sangat paham dari tatapan itu. Tatapan dingin yang penasaran.

"Nanti juga kalian tahu," cetus Stefan tercengir yang berjalan menuju alat olahraga yang lain. Sedangkan Randa, Lakki, dan Jeno kini menatap Dival yang minum dengan santainya.

"Ini serius, Div? Siapa orangnya?" tanya Lakki yang penasaran.

Menghela nafasnya Dival pun berdiri, menatap temannya yang tengah menanti jawaban. Bukannya menjawab, Dival malah melempar handuk kecilnya hingga mengenai wajah Jeno. Sedangkan ia berjalan ke arah treadmill.

"Div, siapa?!" teriak Jeno.

***

Suara deru kaki yang berlari terdengar jelas di koridor rumah sakit. Mendengar kabar sang adik yang sudah sadar, Arnold pun lantas bergegas ke rumah sakit.

Sampainya di depan pintu ruangan di mana Delia tengah dirawat, Arnold sejenak menetralkan diri dan mengatur pernafasannya yang ngos-ngosan. Setelah dirasa sudah mendingan, dengan jantung sedikit berdebar Arnold pun membuka pintu, dan hal yang pertama ia lihat adalah Delia yang sudah sadar dan tengah duduk bersandar di ranjang.

Mata sayu yang baru saja sadar setelah dua hari kehilangan kesadarannya pun tersenyum haru bahagia melihat sang Kakak yang datang menjenguknya.

Dengan tersenyum haru, mulut Delia pun terbuka ingin memanggil sang Kakak. Namun, sebelum itu terjadi Arnold sudah berhambur memeluk tubuh ringkih Delia.

"Akhirnya kamu sadar, Dek," ucapnya lirih.

Melihat dan merasakan tubuh sang Kakak yang sedikit bergetar karena isakan kecil yang haru, Delia juga ikutan menitikkan air mata kesedihan dan juga bahagia.

Surat Terakhir Delia ( on going )Where stories live. Discover now